Komisi Yudisial Diminta Evaluasi Hakim
AMBON, SPEKTRUM – Ikatan Jurnalis Televvisi Indonesia (IJTI) menyesalkan kejadian pemaksaan salah satu wartawan TV lokal, Molucas TV Christin sebagai saksi dalam sidang perkara makar, di Pengadilan Negeri (PN) Ambon.
Christin Pesiwarissa dihadirkan sebagai saksi atas tayangan pidato dua petinggi Republik Maluku Selatan (RMS). IJTI dan LBH Pers setelah ini, akan mengambil langkah hukum terhadap penghinaan sekaligus pelecehan profesi yang dilindungi Undang-Undang.
“IJTI sebagai Konstiuen Dewan Pers menyesalkan kejadian tersebut, karena kebebasan pers adalah salah satu bentuk jaminan pemenuhan hak warga negara atas informasi, hak asasi manusia, dan hak untuk tahu lebih, yang merupakan kewajiban negara untuk diberikan kepada wartawan,”ucap Pengurus Daerah IJTI Maluku, Chris Balseran lewat rilisnya, Rabu. 19 Agustus 2020.
Balseran menegaskan, hak untuk mendapatkan, mengolah dan menyampaikan informasi yang sepenuhnya, harus dijamin oleh Negara.
Menurutnya, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan supremasi hukum.
Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan untuk meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen, untuk melindungi kemerdekaan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Dia menyebutkan, kasus pers adalah kasus yang berkaitan dengan karya jurnalistik, dan atau kegiatan jurnalistik oleh wartawan dan perusahaan pers, yang memenuhi syarat ketentuan Undang Undang No 40/1999 tentang Pers dan Peraturan- Peraturan Dewan Pers.
Karya jurnalistik kata dia, adalah hasil kegiatan jurnalistik berupa tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dengan menggunakan sarana yang tersedia.
Bahwa, Pasal 7 dalam Kode Etik Jurnalistik telah menerangkan Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas, maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai kesepakatan.
“Atas dasar itu, IJTI sebagai Organisasi Profesi atau Konstituen dibawah Dewan Pers menyesalkan kehadiran Christin Pesiwarissa meskipun sebagai saksi dalam persidangan tersebut,”tukasnya.
Atas Peristiwa ini, sambung Balseran, IJTI Pengda Maluku sebagai salah satu Konstituen dewan pers dan juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Pers) Maluku menganggap, tindakan ini merupakan penghinaan terhadap profesi dalam menjalankan tugas dan fungsi prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia dan supremasi hukum, berdasarkan UU No 40/1999.
IJTI dan LBH Pers setelah ini, akan mengambil langkah hukum terhadap penghinaan sekaligus pelecehan profesi yang dilindungi Undang-Undang.
Selain itu lanjut Balseran, dari persidangan yang diikuti, Hakim tidak menjalankan tugasnya sesuai Tupoksi.
Dalam persidangan Hakim sendiri lebih menyimpulkan saksi terhadap kasus tersebut.
Hakim juga terlihat menyalahkan saksi, karena telah bertindak ceroboh, karena dianggap menyiarkan berita yang merupakan karya jurnalistik tersebut. Seharusnya, hakim tidak lebih dulu berkesimpulan, terhadap suatu berita yang merupakan karya jurnalistik.
Terhadap itu, bagi IJTI, hakim sebenarnya tidak memahami mekanisme kemerdekaan pers itu sendiri, dan hanya “Asbun” karena lebih menyalahkan saksi yang notabenennya hanya menjalankan tugas sebagai presenter televisi.
“Untuk itu, terhadap statmen dan pernyataan terhadap saksi dalam persidangan tersebut, kami meminta agar Komisi Yudisial mengevaluasi para hakim yang memimpin jalannya persidangan yang menghadirkan saksi seorang pekerja pers,”pungkasnya.(S-07)