AMBON, SPEKTRUM -Kejaksaan Tinggi Maluku menunjuk Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Dr.Fahri Bachmid,S.H.,M.H. sebagai saksi ahli dalam sidang praperadilan terkait penetapan tersangka, Ferry Tanaya dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 10 Megawat di Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.
Ferry sapaan cukong kayu di Pulau Buru itu, mengajukan gugatan praperadilan karena tak terima atas penetapan tersangka untuk kedua kalinya oleh penyidik Kejati Maluku.
Dalam sidang praperadailan yang digelar di Pengadilan Negeri Kelas 1A Ambon Jumat (26/2/20121), Fahri Bachmid menyampaikan bahwa pentepan tersangka lebih dari satu kali kepada pengusaha Ferry Tanaya secara konstitusional diperbolehkan sesuai tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004. Menurutnya,hal tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaaan.
“Bahwa penyidikan kedua kali, bermakna sebagai proses formil penyidikan yang berulang setelah adanya penetapan tersangka sebelumnya. Penyidikan kedua kalinya tidaklah berkonotasi sebagai sebuah pelanggaran hukum atau tidak berbasis pada kewenangan, karena hal itu lumrah dilakukan dan memiliki dasar hukum kuat “basis legal”meskipun sebelumnya telah ada putusan yang menyatakan batal penetapan tersangka,” ujar Fahri Bachmid kepada wartawan.
Disebutkan Fahri Bachmid, sepanjang tindakan penyidikan yang kedua berdasarkan ketentuan norma dalam Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Rl Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Menutunya, meskipun sudah ada putusan pembatalan penetapan tersangka sebelumnya, hal itu tidak berarti menjadi halangan atau larangan dan menggugurkan kewenangan Penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, sepanjang dilakukan dengan prosedur yang benar dengan komponen dua alat bukti baru yang telah dirubah secara substansial dan berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi hal tersebut adalah boleh dan tetap legal,
“Mengenai dua alat bukti baru atau telah dirubah secara substansial dan berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara, maka itu merupakan produk yang telah legal dan sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XV/2017 tanggal 10 Oktober 2017,” katanya.
Fahri Bachmid juga menyampaikan penafsiran Pasal 76 ayat (1) KUHP. Menurut Fahri mengatakan makna Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut berlaku spesifik jika hanya sebuah perkara atau subjek penyidikan telah dilakukan penuntutan pada fase pengadilan pokok perkara, dan telah inkrachf. Dengan demikian, lanjutnya, secara “acontrario”bagi setiap perkara yang belum dilakukan penuntutan atau pokok perkara atau masih pernah sebatas level formalitas melalui pemeriksaan praperadilan, maka prosesnya sah dilakukan.
“Artinya penyidikan yang notabene masih pada tahapan formal belaka meskipun kedua kalinya tetap dibolehkan. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan praperadilan tidak menutup kewenangan Penyidik untuk melakukan penyidikan kembali,” tambahnya.
Terkait tak dikenalnya azaz “nebis in idem” dalam putusan praperadilan, Fahri menyampaikan bahwa Praperadilan sejatinya merupakan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk pula masalah ganti rugi. Praperadilan didesain untuk memberikan perlindungan pada masa “pra persidangan” bagi tersangka atau orang lain yang merasa hak-nya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.
Karena alasan itu, papar Fahri Bachmid, maka praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. Secara eksplisit hal tersebut dapat dilihat dalam KUHAP pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;” . Pengaturan itu menunjukkan bahwa ada dimensi dan jurisdiksi yang berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara. Secara langsung praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek “formil”.
“Aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pmeriksaan pokok perkara. Untuk kewenangan baru praperadilan yaitu memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016. Bahkan secara eksplitis menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Secara praktik dan teori yang dimaksud “aspek formil” adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti,” katanya.
“Itulah mengapa putusan Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 42/PUUXV/2017 tanggal 10 Oktober 2017,” tandas Fahri Bachmid,
Untuk diketahui, pengusaha Ferry Tanaya kembali mengajukan gugatan praperadilan karena dia keberatan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 10 megawat di Namlea, Kabupaten Buru, Maluku oleh Kejari Malu. Gugatan terdaftar dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Amb. (HS-07)