Dia mengaku, proyek ini pembayaran tahap pertama sudah dibayarkan pada 13 September 2019 dengan nilai Rp.1,9 miliar lebih. Anggaran APBN saja sudah tersedia masa oknum-oknum yang mengurusi proyek itu beralasan corona.
“Ini sebuah alasan yang tidak masuk akal, sehingga Kejati Maluku diminta usut tuntas kasus ini,” tandasnya.
Sementara itu Praktisi Hukum, Muhamad Gurium menyebut, seharusnya para oknum yang punya peran penting dalam proyek ini, tidak perlu menutup-nutupi jalannya kasus ini bahwa seakan-akan tidak ada masalah. Proses hukum sudah berjalan di Kejati Maluku, sehingga alangkah baiknya serahkan semuanya ke Kejaksaan untuk mengusut kasus ini.
“Serahkan saja ke Kejaksaan. Karena ini kasus nilainya miliaran. Dilain sisi, tidak mungkin, kalau laporan yang dimasukan ke Kejati itu tidak benar. Sehingga perlu kita butuh kinerja dari Kejati dalam menuntaskan kasus ini,” jelas Gurium.
Sebelumnya diberitakan, dalam perkara ini, Kejati harus kejar peran ketiga oknum yang terlibat langsung dalam proyek pengadaan alat simulator untuk jurusan teknik mesin di Poltek Ambon ini.
Mereka adalah, Yosep Mattitaputty, Christina Siwalette dan Fentje Salhuteru. Sebab, peran ketiga orang ini, mempunyai andil penting terhadap proyek fiktif yang diduga merugikan uang negara sebesar Rp.1,4 miliar tersebut.
“Jadi Yosep Mattitaputty selaku ketua panitia lelang yang mengatur lelang tanpa melibatkan anggota Pokja. Sementara, Christina Siwalette selaku pejabatan pembuat komitmen yang mencairkan dana 100 persen tidak berdasarkan pada berita acara hasil pekerjaan dan Fentje Salhuteru selaku pejabat penandatangan surat perintah membayar yang tidak lagi menguji kebenaran dari bukti-bukti pencairan dana,” kata sumber anggota Pokja meminta namanya tidak dikorankan belum lama ini di Ambon.
Sumber itu menuturkan, untuk Fentje Salhuteru harus mempertanggungjawabkan di depan hukum. Pasalnya, tidak pernah melakukan pertanggungjawaban dengan benar. Mengapa, saat Salhuteru mencairkan dana tanpa menggunakan berita acara hasil pekerjaan. Sehingga perbuatan Salhuteru bisa dikatakan perbuatan korupsi fiktif.
“Dia (Fentje Salhuteru) cairkan dana tanpa melihat berita acara hasil pekerjaan. Ini kan fiktif. Sedangkan untuk perbuatan ketua panitia lelang Yosep Matitaputty, dirinya tidak pernah memberikan password kepada panitia untuk masuk dalam proses pengadaan barang dan jasa,” jelasnya.
Sementara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) lanjut dia, pencairan dana 100 persen pada 23 Desember 2019 tidak mendasari berita acara pemeriksaan dan penerimaan hasil pekerjaan dan jaminan bank. Bahkan lebih fatal lagi, nantinya pada bulan Februari 2020, barulah yang bersangkutan memangil panitia penerima hasil pekerjaan sekaligus memerintahkan mereka agar menandatangani berita acara serah terima hasil pekerjaan.
“Namun itu juga panitia tidak pernah melihat wujud barangnya seperti apa,” tandasnya. (TIM)