Kejahatan kehutanan masih sulit untuk dihindari. Hutan di wilayah Maluku nampak menjadi sasaran empuk oknum pebisnis tertentu. Bisnis kayu terbilang menggiurkan. Sebab pelaku usaha meraup untung lumayan. Karena ambisi mengembangkan bisnis, aksi oknum pengusaha kayu di lapangan pun bertindak bak mafia.
Penebangan kayu nekat dilakukan secara illegal alias liar. Hak ulayat warga dikebiri. Alasan membuka perkebunan rakyat, tapi di justru terjadi pembabatan hutan. Akibatnya kondisi hutan tampak botok alias gundul, bencana alam pun rawan terjadi.
Kasus illegal logging di hutan di wilayah Maluku membuktikan mafia hutan masih bergerilya di negeri ini. modus kejahatan diolakukan beragam. Misalnya penebangan di kawasan hutan tanpa izin, menebang di luar perizinan, merambah kawasan hutan tanpa mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.
Belum lagi kayu tidak dilengkapi dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), kayu menggunakan dokumen palsu, muatan kayu dalam dokumen SKSHH tidak sesuai dengan muatan angkut, SKSHH digunakan berulang-ulang dan IPK fiktif, bentuk permodelan kontemporasi dari tindak kejahatan kehutanan yang semakin lama semakin memberikan warna lain atas kejahatan yang berkembang. Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur berbagai syarat dan lain sebagainya, tapi masih saja dilanggar.
Kasus tindak pidana kejahatan kehutanan justru terus muncul. Oknum yang terlibat bukan hanya pengusaha tetapi juga oknum ASN pada instansi pemerintah. Mereka yang terjerat hukum adalah pelaku lapangan (buruh tebang, buruh angkut dan lain), dan atau pemilik jasa transportasi, sedangkan mastermind sulit tersentuh.
Jika legalitas penebangan hutan dalam porsi tidak mendapat tempat, sudah sepatutnya di cegah. Jangan membuka peluang karena kepentingan tertentu. Jika kayu ditebang terus menerus, perlu puluhan hingga ratusan tahun untuk mengembalikan kondisi hutan ke posisi semula.
Banyak pedekatan yang mesti dilihat kaitannya dengan pemanfaatan hutan, yang mana memiliki hubungan dengan keseimbangan alam yakni air, mahkluk hidup khususnya manusia yang bergantung pada alam.
Terbongkarnya kasus pembalakan kayui secara liar di beberapa daerah di Maluku, sudah saatnya instansi Pemda khususnya Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup mulai Provinsi maupun Kabupaten/Kota, meningkatkan pengawasan secara ketat.
Soal perijinan kepada perusahaan atau pebisnis, jangan kemudian mengabaikan ketentuan yang ada, utamanya jangan mengebiri hak ulayat warg adat. Kasus pembabatan hutan secara tidak wajar, merupakan cerminan buruk terhadap instansi pemerintah terkait. Bicara target pencapaian pendapatan daerah, jangan kemudian mengabaikan keseimbangan alam dan hak ulayat warga adat.
Dalam TGHK 1986 memperlihatkan bahwa sebagian besar areal yang diberikan untuk perkebunan masih berstatus hutan (HP dan HPT) dan belum di lepas menjadi kawasan non hutan.
Hal ini menjadi persoalan, sehingga kadang masyarakat harus menjadi korban khususnya warga adat di Pulau Seram. Kepentingan oknum pengusaha dan oknum instansi pemerintah, hak ulayat warga adat disampingkan.
Perizinan perkebunan rakyat seharusnya dimanfaatkan sesuai fungsinya. Kasus pembalakan yang terjadi akhir akhir ini tentunya cukup disayangkan. Ijin diokeluarkan untuk perkebunan tapi dibarengi oknum pengusaha dengan melakukan penebangan kayu.
Kasus pembalakan kayu secara illegal semestinya pihak Pemerintah Daerah mulai Provinsi hingga kabupaten dan kota harus bersikap profesional dan arif dalam menjalankan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya di sektor kehutanan.
Untuk memperoleh pendapatan di sektor kehutanan, tidak harusnya menyampingkan hak hak hak ulayat warga adat. Pemerintah harus melindungi hak ulayat warga, dan jangan sebaliknya membela pengusaha yang masuk dengan dalil investasi, padahal bertindak menyimpang. Berantas mafia hutan, lestarikan alam Maluku, stop merampas hak ulayat warga adat.
Semoga dengan kasus penangkapan empat tersangka yang diduga terlibat pembalakan kayu di kawasan hutan Wahai, Seram Utara, dapat memberi efek jera bagi yang lain. (*)