AMBON SPEKTRUM- Maluku memiliki 52 titik potensi konflik akibat batas wilayah, dan saat ini konflik terjadi di Pulau “Kebetulan sekarang memang terjadi di Pulau Haruku, ada Pelauw dan Kariu, ada Hulaliu dan Aboru, tapi ingat, bahwa di Maluku ini ada 52 titik konflik yang punya potensi yang sama. Sehingga akar permasalahan inilah yang harus diselesaikan,” kata Kapokda Maluku, Irjen Pol. Lotharia Latief kepada wartawan usai bertemu dengan Komisi I DPRD Maluku, pekan lalu.
Mengenai persoalan batas-batas wilayah sengketa itu, menurut Kapolda yang harus diturunkan adalah tim terpadu dari Pemerintah Daerah. Karena, permasalahan itu tidak boleh diselesaikan versi masing-masing.
“Di situlah peran Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tengah agar menurunkan tim terpadu dalam persoalan ini. Dan harapan, bisa berkoordinasi baik dengan kita, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dan DPRD, kita akan bantu itu,” katanya.
Mengenai penegakan hukum dalam persoalan itu, Kapolda memastikan berjalan secara transparan, dan akuntabel. Saat ini, proses hukum sedang berjalan, dan kini dalam pemenuhan unsur pengumpulan alat bukti.
Mantan Kapolda NTT ini mengaku pihaknya terkendala alat bukti dan minimnya saksi, serta banyak korban yang tidak bisa diotopsi.
“Ini salah satu kendala yang terjadi di lapangan, tapi kita tidak akan berhenti untuk melakukan penegakan hukum,” tegasnya.
Kapolda juga menegaskan jika dalam jangja waktu dekat, warga Kariu di lokasi pengungsian sangat membutuhkan penanganan khusus. Ini mengenai pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.
“Saya mendorong kepada Ketua Komisi I agar bisa koordinasikan dengan Pemerintah Daerah untuk penanganan sandang, pangan dan lainnya karena masyarakat di sana sangat membutuhkan itu,” harapnya.
Kapolda berharap penanganan persoalan di sana tidak hanya dilakukan secara parsial, tapi sudah harus terprogram, baik setiap hari, bulan, bahkan mungkin tahun mengenai kehidupan warga Kariu.
“Kita berharap ini segera cepat selesai, karena dengan itu semuanya bisa kembali normal,” jelasnya.
Untuk menormalkan situasi dan kondisi di sana, Kapolda tidak henti-hentinya mendorong agar rekonsiliasi yang selama ini tertutup, dapat dibuka kembali ruangan itu dengan semangat damai.
“Rekonsiliasi harus terjaga sehingga rekonstruksi bisa berjalan dengan baik. Inilah keinginan kita, sehingga kita mengharapkan jangan ada pihak-pihak yang tidak memahami persoalan ini secara utuh, kemudian menyampaikan komentar-komentar, yang membuat langkah rekonsiliasi menjadi terhenti bahkan tidak berjalan, malah menimbulkan persoalan baru,” ajaknya.
Hal ini kata Kapolda, telah dijelaskan kepada Komisi I DPRD terkait persoalan penanganan konflik antara Pelauw dan Kariu.
“Kami sudah menyampaikan, satu, permasalahan ini harus diselesaikan secara komprehensif, kita harus punya strategi baik jangka pendek, sedang, dan jangka panjangnya,” kata Kapolda.
Ia mengaku penanganan persoalan antara kedua kampung tersebut tidak harus diselesaikan secara parsial. Sebab, jika diselesaikan secara parsial maka kejadian serupa akan terulang kembali.
“Sehingga saya membangun komunikasi dengan DPRD agar akar permasalahan persoalan inilah yang harus ditangani dengan baik,” pintanya.
Akar persoalan konflik Pelauw-Kariu adalah sengketa batas lahan. Masalah status bidang tanah yang disengketakan tersebut harus segera diselesaikan dengan damai melalui cara adat atau dengan proses hukum. Ini agar ada kepastian hukum sehingga tidak terulang lagi di kemudian hari.
“Akar persoalan konflik Pelauw dan Kariu, salah satu faktor pemicunya adalah sengketa status lokasi bidang tanah atau lahan yang diklaim masing-masing pihak.
Selama ini, kedua negeri hidup rukun dan damai, sampai kemudian ada faktor pemicu yang saat ini sedang didalami penyebabnya. Sebab, persoalan itu tidak tiba-tiba datang dan menjadi besar seperti ini, pasti ada penyebab awalnya,” tegas Kapolda. (MG-16)