AMBON, SPEKTRUM – Ketakutan berlebihan dari warga terdampak gempa sehingga memilih tinggal di pengungsian bisa menjadi hambatan bagi pencairan dana stimulan pembangunan rumah.
“Uang ini diberikan dengan catatan warga harus segera turun. Namun masyarakat selalu bertanya siapa yang bertanggungjawab atas kita jika terjadi gempa dan lainnya. Ini yang selalu dipermasalahkan padahal keterangan dari LIPI maupun BMKG intensitas gempa telah turun,” kata Kepala BPBD Maluku, Dra. Farida Salampessy kepada wartawan di ruang kerjanya, kemarin.
Bahkan beberapa hari lalu ada warga asal Tulehu dan Waai menemuinya di kantor meminta terpal.
Salampessy juga menjelaskan soal perpanjangan status transisi darurat ke pemulihan. Pada tanggal 23 Januari 2020 masa transisi darurat berakhir dan dirinya telah menginstruksikan staf BPBD Maluku untuk menyiapkan konsep perpanjangan.
“Karena perpanjangan status transisi ini harus terus dilakukan hingga selesai pembangunan rumah warga terdampak gempa,” kata Salampessy.
Ditegaskannya, status transisi darurat tidak berhenti, tujuan dari transisi darurat hingga selesai penanganan dampak bencana hingga selesai pembangunan rumah warga.
“Kalau rehab rekon beda lagi, karena bersifat reguler, program reguler. Tapi kalau dana siap pakai tetap harus ada,” katanya.
Salampessy menerangkan, dana siap pakai ada tiga, mulai dari dana siaga darurat. Dana ini akan dikucurkan jika ada potensi bencana. “Saat ini ada himbauan dari Menteri Dalam Negeri kepada seluruh gubernur, ini namanya potensi bencana, kita bisa minta dana darurat,” jelasnya.
Kemudian ada dana tanggap darurat yakni dana yang disiapkan pada saat kejadian selama dua minggu.
“Tujuannya adalah menyelesaikan hal-hal yang bersifat mendesak, misalnya ada yang meninggal saat bencana, mayatnya dikebumikan atau pencarian korban atau masalah pengungsi yang harus diselesaikan,” kata Salampessy.
Sedangkan dana transisi darurat ke pemulihan masih tetap menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan saat tanggap darurat. (S-16)