AMBON, SPEKTRUM – Pembayaran ganti rugi lahan sengketa, lokasi berdirinya Dinas Kesehatan Provinsi Maluku terus bergulir. Pemerintah Provinsi Maluku telah membayar ganti rugi kepada ahli waris Izak Baltazar Soplanit padahal proses hukum atas lahan tersebut masih bergulir di PN Ambon antara Tan Kho Hang Hoat alias Kho Fat dengan ahli waris Izak Baltazar Soplanit.
Anehnya, meski ada perlawanan dan Pengadilan Negeri Ambon telah menunda proses eksekusi namun tidak mampu menahan keinginan Pemda Maluku untuk tetap membayar lahan sengketa itu.
Muncul pertanyaan, proses pembayaran ganti rugi bisa dilakukan jika Gubernur Maluku menyetujui penetapan harga tanah dan ahli waris.
Salah satu pegiat sosial, Francois Aipassa kepada Spektrum di Ambon, kemarin mempertanyakan oknum yang mampu meyakinkan Gubernur Maluku untuk menyetujui proses pembayaran lahan sengketa.
“Yang mesti ditelusuri adalah oknum dibalik proses ini yang mampu meyakinkan Gubernur Maluku untuk merestui pembayaran objek sengketa padahal ada perlawanan yang masih bergulir di Pengadilan Negeri Ambon,” kata Aipassa.
Aipassa mempertanyakan siapa orang kuat dibalik pembayaran tersebut.
“Apakah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Biro Hukum, Kepala Biro Pemerintahan, atau ada kekuatan lain dibalik proses ini yang mampu yakinkan gubernur,” katanya lagi.
Untuk diketahui, pada tanggal 16 Desember 2021, Tan Kho Hang Hoat melalui kuasa hukumnya telah melayangkan surat ke Gubernur Maluku meminta agar pembayaran ganti rugi atas lahan tersebut ditunda hingga ada keputusan Pengadilan.
“Anehnya, proses ganti rugi tetap dilaksanakan,” kata Aipassa.
Bukan hanya Tan Kho Hang Hoat yang meminta pembayaran ganti rugi ditunda, tapi Pengadilan Negeri juga telah mengirim surat pembatalan atau penundaan pembayaran pada awal Januari 2022, tapi tidak juga digubris Pemda Maluku.
“Media telah menulis berulang kali namun Komisi I DPRD Maluku belum mengambil langkah, minimal memanggil Kepala Biro Hukum, Pemerintahan dan Kadis kesehatan atau lainnya yang terlibat pada proses ini, untuk dimintai penjelasannya, agar masyarakat tidak berprasangka buruk terhadap lembaga legislatif,” katanya.
Sementara itu, praktisi hukum Ronny Samlooy kepada Spektrum menjelaskan bahwa, jika ada perlawanan namun Pemda telah memberikan ganti rugi kepada ahli waris maka hal ini patut dipertanyakan karena mengacu pada UU nomor 2 tahun 2018 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum khususnya pasal 42 ayat 2 huruf e ayat 1 dan 2 bahwa jika kemudian ada keberatan terhadap objek sengketa atau kepemilikan yang masih berproses di Pengadilan maka menjadi kewajiban Pemda untuk menunda pembayaran tersebut.
“Menunda pembayaran langsung ke ahli waris, namun memberikan atau menitipkan uang ganti rugi tersebut sebagai dana konsinyaki di Pengadilan hingga proses hukum berakhir baru bisa memberikan ganti rugi kepada siapa yang berhak atas objek sengketa tersebut sesuai keputusan pengadilan,” kata Samlooy.
Selanjutnya Samlooy menjelaskan, kalau kemudian, proses ini belum selesai karena masih ada perlawanan eksekusi, lalu ada pemberitahuan dari Pengadilan untuk menunda pembayaran tetapi tetap dilaksanakan pembayaran tersebut maka ini bisa saja dikatakan pemerintah daerah tidak hati-hati atau tidak cermat dalam menjalankan pemerintahan,” katanya.
Jika, proses ganti rugi tetap dilaksanakan maka dikuatirkan orang yang lakukan perlawanan menang di pengadilan maka bisa saja proses ganti rugi yang menyalahi prosedur sebagaimana UU nomor 2 tahun 2018, diusut berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi karena ini uang negara,” tegasnya. (Tim).