AMBON, SPEKTRUM –Program sejuta rumah subsidi Presiden RI, Joko Widodo, seribu diantaranya rencananya dibangun di Desa Tawiri, Kecamatan Teluk Ambon terancam mangkrak.
Menurut Gey, salah satu calon penghuni kepada Spektrum, Selasa (27/10/2020), ia mengaku kecewa karena impian mendapatkan rumah dengan harga terjangkau bagi dirinya yang berpenghasilan tak menentu, tak kunjung terealisasi. Padahal ia menunggu sudah hampir tiga tahun dan sudah memenuhi semua kewajiban membayar uang muka sebesar 20 jutaan rupiah. Tempat kost yang disewanya sudah tidak memadai lagi ditempatinya bersama suami dan tiga anaknya yang sudah tumbuh remaja.
Jika ada masalah, ia berharap dibicarakan secara terbuka sehingga pembeli tidak merasa dipermainkan. Sudah berulang kali ia ingin menemui pengembang, baik di kantor lapangan yang biasanya dibuka setiap hari di lokasi pembangunan perumahan maupun di rumah pribadi milik pengembang namun semuanya terkunci rapat. Dihubungi lewat telepon seluler pun tidak ada respon.
Pantauan Spektrum di lapangan, tidak ada lagi aktivitas pembangunan di sana. Rumah-rumah yang sudah jadi maupun setengah jadipun tidak ada penghuninya. Tetangga yang berada di sekitar lokasi pun mengaku tidak mengetahui dan mempersilahkan Spektrum mencari tahu sendiri melalui pemerintah negeri Tawiri.
Mantan kepala negeri Tawiri, Jopy Tuhuleruw yang ditemui Spektrum di kediamannya, Senin (26/10/2020) mengakui proyek pembangunan perumahan tersebut terhenti karena ada sengketa kepemilikan tanah dan juga lantaran Covid-19.
Tuhuteruw mengatakan, ada sekitar 9 sertifikat di sekitar lokasi pembangunan. Satu diantaranya yang dibeli pengembang, luasnya sekitar 2 hektar lebih. Karena permasalahan ini, lanjutnya, pengembang sementara ada di Jakarta, sudah melaporkan langsung ke Presiden RI, Joko Widodo.
“Ibu Betty (pengembang-red) tidak bersalah. Beliau punya sertifikat sah berdasarkan pembelian lewat notaris. Pemiliknya menunjuk lokasi itu,” terangnya.
Sementara itu, Saniri negeri Tawiri yang dihubungi Spektrum secara terpisah, Max Titahena dan Herman Matitahu, mengaku prihatin atas kejadian ini karena Saniri tidak dilibatkan dalam keputusan-keputusan penting yang diambil menyangkut kepentingan masyarakat.
Menurut Titahena, dalam rapat negeri sudah berulangkali ditanyakan. Bahkan sebelum ada pembangunan perumahan tersebut namun tidak ada kejelasan. Di kemudian hari, ketika sudah terjadi masalah, masyarakat mengadu ke pemerintah negeri karena merasa dirugikan, terombang-ambing tanpa kepastian. Ia tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mengetahui dengan pasti kejelasan perkaranya.
“Jual beli tanah. Harus dilihat, tanah itu tanah apa? Tanah dati atau tanah pusaka?. Harus melibatkan Saniri agar tidak keliru di kemudian hari. Si pembeli tidak tahu. Besok lusa si pewaris datang untuk mengurus, ternyata sudah ada jual beli. Jual beli kapan?,” tukasnya. (S-17)