Siiwabessy : Ini Akibat Program Rutinitas

AMBON, SPEKTRUM – Selama beberapa dekade Provinsi Maluku masih sangat tertinggal, walaupun sudah sekian banyak pemimpin seperti gubernur, bupati/walikota termasuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota yang memimpin daerah ini.

Sudah begitu, korupsi di daerah termiskin ke 4 di Indonesia ini cukup tinggi. Hal ini menimbulkan spekulasi publik macam-macam.

Ada yang menilai ketidak berhasilan karena para pemimpin tidak memiliki visi yang jelas, DPRD sebagai refresentasi rakyat kurang kritis akibat berada dalam lingkaran koalisi pendukung gubenur dan bupati/ walikota, sehingga walaupun ada kesalahan yang dilakukan birokrasi, mereka mengaminkan saja.

Salah satu akademisi, DR. Dody Siwabessy kepada Spektrum menilai, hal yang paling utama menyebabkan Maluku dan Ambon tidak maju atau lambat mencapai kesejahteraan karena terlalu banyak program rutinitas dan tidak ada prioritas program yang terkait kepentingan masyarakat sehingga terjadi tumpang tindih dan gagal.

“Saya melihat kalau maluku terlambat dalam mensejahterakan daerah ini, pertama adalah karena terlalu banyak program rutinitas. Kedua adalah soal anggaran yang terbatas. Dua hal ini menuurut saya menjadi faktor pemicu daerah ini sangat terlambat. Jadi sebetulnya harus mengurangi program-program yang rutinitas, kemudian harus ada skala-skala prioritas dalam membangun Maluku,” tandas Siwabessy.

Salah satu program pemerintah kota, yang dianggap untung nama hilang belanja adalah Ambon City Musik.

Program ini hanya untuk mengejar nama tapi tidak nampak sedikipun Kota Ambon memperlihatkan jati dirinya sebagai kota musik dunia, apalagi soal merekrut tenaga kerja.

Sementara itu sejumlah akademisi, politisi maupun aktivis menilai, Ambon Kota Musik ini tidak berdampak positif yang signifikan bagi masyarakat pencari kerja.
“Bikin apa dengan kota music ? orang butuh itu lapangan kerja bukan nyanyi-nyanyi. Berapa banyak orang di Maluku yang karena nilai seninya tinggi, membuat daerah ini maju ? paling hanya untuk nama pribadi masing-masing saja dan setelah itu tenggelam lagi. Orang sekarang butuh makan dan minum bukan nyanyi. Kalau masyarakat lapar apakah dengan menyanyi lalu mereka kenyang,” ujar Fery salah satu aktivis AMGPM di Ambon.

Tak ketinggalan masalah pengangguran intelek yang cukup tinggi. Diperkirakan dalam setahun Unpatti sebagai universitas negeri terbesar di Maluku memproduksi sarjana S1 dan S2 bisa mencapai 5000 orang, belum lagi ditambah perguruan tinggi swasta lainnya dan sejumlah sekolah tinggi di daerah ini. Pasalnya pemerintah daerah tidak mampu menciptakan lapangan kerja misalnya melakukan lobi-lobi investasi.

Prof DR Julias Latumaerissa, dalam sebuah diskusi yang berjudul Quovadis Maluku, menyampaikan otokritiknya soal para pemimpin di Maluku.

Dia dengan pikiran akademsi yang jernih menilai dari data statistik kepemimpinan MI-Orno selama 3 tahun yakni dari tahun 2019-2021, tidak ada perubahan-perubahan yang signifikan.

“Kalau hari ini data pertumbuhan ekonomi Maluku yang diangga-banggakan di media sosial saya harus mempertegas dan meluruskan pememahaman ini bahwa angka perumbuhan ekonomi yang hari ini dikatakan naik 3,53 persen itu sebetulnya bukan sebuah prestasi,” katanya.

Masyarakat tambah Latumaerissa, harus paham bahwa nilai PDRB itu biasa diukur dari harga berlaku dan harga konstan.
“Nah nilai PDRB harga berlaku dan harga konstan memiliki kecendrungaan naik tetapi kenaikan itu bukan disebabkan karena kenaikan dalam kapasitas produksi daerah tetapi kenaikan itu semata-mata karena faktor inflas,” tambahnya.

Latumerisa mencontohkan hari ini Maluku menghasilkan 10 ton beras. Harga Rp. 10.000. besok produksi tetap 10 ton tetapi harga melonjak Rp. 20.000. secara otomatis nilai akhir itu cenderung naik.

“Nah ini karena mereka tidak paham maka mereka katakan ini prestasi MI-Orno,” jelasnya.

Latumerisa menilai angka tersebut digembar gembor di medsos hanya untuk meracuni pikiran masyarakat seakan-akan ini sebuah prestasi.

Yang pasti katanya akibat rendahnya kapasitas produksi sejak 2014 sampai sekarang ini ekspor maluku baik luar negeri maupun ekspor impor dalam negeri itu snagat minus.

“Kalau bicara soal kemiskinan di Maluku bukan soal jumlah penduduk miskin dan prosentase penduduk miskin. Jadi yang harus dilakukan pemerintah adalah mengatasi kedalaman kemiskinan sebab sampai haris ini data statistik menunjukan kedalaman dan keparahan kemiskinan itu masih berada dia angka 3,” katanya lagi. (*)