AMBON, SPEKTRUM – Sejumlah permasalahan pelanggaran hukum terjadi di Pasar Mardika, mulai dari aksi premanisme hingga pungutan liar yang dialami para pedagang. Pedagang bahkan dijadikan mesin ATM bagi sejumlah oknum yang tidak bertanggungjawab.
Terutama para pedagang yang berjualan di badan jalan. Dalam sehari para pedagang dipungut Rp 28.000, untuk pembayaran lokasi jualan, uang sampah, parkir dan keamanan.
Demikian pengakuan salah satu pedagang sayuran, Ny. Rahma kepada Ketua Komisi III DPRD Maluku, Richard Rahakbauw saat lakukan on the spot di Pasar Mardika.
“Kami harus membayar tempat berjualan Rp 15.000, uang parkir Rp 5.000, keamanan Rp 5.000 dan sampah Rp 3.000. Bahkan, dalam sehari retribusi sampah bisa ditarik dua kali,” kata Rahma. Rahma menambahkan jika setiap kali pembayaran pedagang tidak diberikan karcis atau bukti pembayaran.
Bahkan, lanjut Rahma, bukan hanya preman, ASN lingkup Pemerintah Kota Ambon juga turut menagih retribusi tersebut.
Rahma mengaku pedagang seringkali diintimidasi oknum-oknum tertentu bahkan diancam secara verbal.
“Jika kita menolak untuk membayar, mereka tidak segan-segan mengancam akan menghancurkan barang dagangan kita,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Ill DPRD Richard Rahakbauw disela-sela agenda on the spot menjelaskan, peninjauan lokasi merupakan tindak lanjut dari keputusan rapat yang dilakukan sebelumnya.
“Komisi lIl berkepentingan untuk bertatap muka dengan pedangan guna mengkonfirmasi sejumlah isu yang selama ini bermunculan di publik. On the spot dilakukan supaya kita bisa mengkonfirmasikan berbagai informasi pungutan liar oleh oknum yang tidak
bertanggungjawab dan tidak memiliki kewenangan,” tegas Rahakbauw.
Menurutnya, berdasarkan hasil on the spot ditemukan bahwa terjadi penagihan secara ilegal yang dilakukan oleh oknum-oknum
tertentu dengan alasan uang kebersihan dan uang keamanan.
“Sesuai dengan pengakuan pedagang memang ada tagihan untuk uang keamanan dan uang kebersihan yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal dan mengunakan pakaian preman sehingga tidak dikenali oleh pedagang.” ujar Rahakbauw.
Penarikan iuran ilegal lanjut Rahakbauw masih terjadi dan meresahkan pedagang.
Selain pungli, ditemukan juga adanya pembayaran lapak pada areal Pasar Apung sebesar Rp 35 juta per lapak tanpa adanya kwitansi pembayaran.
Menyikapi semua persoalan tersebut, Rahakbauw berjanji akan mengundang Pemkot Ambon dan Pemprov Maluku untuk membahas hal itu, sehingga ada keputusan yang tidak merugikan siapapun, baik pedagang maupun asosiasi dan pemerintah. (*)