AMBON, SPEKTRUM – Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (AFLI) Ambon, Hadi Mairuhu mengeluhkan harga logistik di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon, Provinsi Maluku.
Sebab tarifnya mulai naik, pasca pemerintah memberlakukan kapal di perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar minyak (BBM) low sulfur dengan kandungan maksimal 0,5 persen m/m. Kewajiban ini sudah diberlakukan mulai 1 Januari 2020.
Menurut Mairuhu, selaku pelaku usaha jasa transportasi di pelabuhan merugi lantaran tarif logistik naik mencapai hampir 50 persen.
Surat edaran menteri ini dari tanggal 18 Oktober 2019. Desember 2019 kemarin baru kita mengetahuinya. Tiba-tiba didalam surat edaran itu berlaku tanggal 1 Januari 2020, dimana seluruh kapal yang melayari perairan Indonesia baik kapal asing maupun kapal Indonesia, itu sudah diberlakukan untuk memakai minyak LLS.
“Kewajiban penggunaan bahan bakar Low Sulfur dan larangan mengangkut atau membawa bahan bakar yang tidak memenuhi persyaratan serta pengelolaan limbah hasil resirkulasi gas buang dari kapal,” jelas Hadi Mairuhu, kepada Spektrum di Ambon, Sabtu, (01/02/2020).
Dikatakan, saat pemberlakuan BBM rendah tersebut pihak pelayaran, kontraktor pelayaran secara otomatis menaikan harga. Alasannya, karena bahan bakar tersebut lebih mahal dari solar.
“Jadi pelayaran membuat tarif, misalnya pelabuhan tujuan dari Surabaya ke Makassar, itu dengan harga yang bebeda-beda. Contoh, kalau dari Surabaya ada kenaikan sekitar Rp 1 sampai 1,8 juta. Kalau dari daerah ke Surabaya, kena 50 persen. Karena biiaya itu yang tadinya pemerintah bebankan kepada pelayaran. Pelayaran bebankan kepada pemilik barang. Otomatis kan ke masyarakat langsung,” ungkapnya.
Persoalannya, kata dia, pada 13 Januari 2020, seluruh pelayaran sudah memberlakukan tarif tersebut. Dampaknya harga logistik semakin tinggi, dan harga barang juga akan naik.
“Pertanyaannya, ketika pelayaran memberlakukan itu, apakah pelayaran sudah memakai itu atau belum? Sekarang persoalannya, siapa yang mengawasi, kalau ini diberlakukan ke masyarakat, lantas dia belum mmakai, itu melanggar hukum atau tidak,” tanya Mairuhu.
Setiap kapal berbendera Indonesia dan kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia diwajibkan untuk menggunakan bahan bakar low sulfur dengan kandungan maksimal 0,5% m/m. Kewajiban ini dilakukan mulai 1 Januari 2020 jelang pemberlakuan aturan IMO2020.
Aturan ini juga diperkuat dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor 35 Tahun 2019 tanggal 18 Oktober 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau membawa bahan bakar yang tidak memenuhi persyaratan serta pengelolaan limbah hasil resirkulasi gas buang dari kapal.
Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Capt. Sudiono sebagaimana dilansir dari Detim.com tanggal 1 Januari mengatakan, kapal berbendera Indonesia maupun kapal asing harus melakukan berbagai tahapan sebelum menggunakan bahan bakar tersebut.
“Kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang akan menggunakan bahan bakar tersebut agar melakukan pembersihan tangki bahan bakar, sistem perpipaan dan perlengkapan lainnya, untuk memastikan kebersihan dari sisa atau endapan bahan bakar sebelumnya (bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih besar dari 0,5% m/m), dan mengembangkan rencana penerapan di kapal (ship implementation plan) sesuai pedoman IMO MEPC.1/Circ.878,” ucap Sudiono.
Ia mengatakan, kapal berbendera Indonesia yang masih menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih besar dari 0,5% m/m, agar di lengkapi dengan Sistem Pembersih Gas Buang (Exhaust Gas Cleaning System) dengan jenis yang disetujui oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
Sementara itu, kapal berbendera Indonesia yang berlayar internasional dilarang mengangkut atau membawa bahan bakar dengan kandungan sulfur lebih besar dari 0,5% m/m untuk sistem propulsi/ penggerak atau bahan bakar untuk operasi peralatan lainnya di atas kapal mulai tanggal 1 Maret 2020 dan larangan ini tidak berlaku untuk kapal yang menggunakan metode alternatif misalnya menggunakan sistem pembersihan gas buang yang disetujui berdasarkan peraturan 4.1 Annex VI Konvensi MARPOL.
“Adapun kapal berbendera Indonesia yang berlayar Internasional yang menggunakan Sistem Pembersihan Gas Buang (Exhaust Gas Cleaning System/ Scrubber) tipe open loop untuk Resirkulasi Gas Buang (Exhaust Gas Recirculation/ EGR) agar memperhatikan ketentuan di negara tujuan dikarenakan beberapa negara telah melarang penggunaan Sistem Pembersihan Gas Buang (Exhaust Gas Cleaning System/ Scrubber) tipe open loop,” jelasnya.
Dengan begitu, kata dia, pembuangan limbah hasil resirkulasi sistem gas buang dari mesin di kapal dibuang secara langsung di perairan negaranya. Melainkan harus disimpan dalam tangki penampung di atas kapal untuk selanjutnya dibuang melalui fasilitas penerima (reception facility) yang tersedia di pelabuhan.
Untuk kapal berbendera Indonesia dan asing yang akan menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 0,5 persen m/m, akan tersedia di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta atau di Floating Storage Teluk Balikpapan atau pelabuhan lainnya yang sudah menyediakan mulai tanggal 1 Januari. (S-01)