Butuh Penguatan Sektor Primer
AMBON, SPEKTRUM – Sebelum pembatasan berskala regional, kondisi ekonomi secara Nasional maupun Maluku, sudah sangat terasa atau melemah. Parahnya lagi, saat wabah Coronavirus Disease 2019 menyebar. Imbasnya, ekonomi Maluku turun drastis. Faktanya, daya beli masyarakat serta produksi barang dan jasa ikut menurun drastis.
Hal ini disampaikan Pengamat Ekonomi, Dr. Maryam Sangadji, juga Dosen Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura Ambon, saat dimintai pendatanya oleh Spektrum di Ambon, Sabtu (18/04/2020), seputar imbas Badai Covid-19, terhadap pertumbuhan ekonomi Maluku.
Ia mengemukakan, rata-rata produksi barang maupun jasa sudah tidak jalan. Kecuali untuk sektor-sektor lain. Namun dengan pembatasan regional, memicu sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, suplai pasokan pun menjadi terbatas.
“Saat belum ada penutupan akses pelabuhan secara regional, memang masih ada (produksi). Tapi produktivitas sudah tidak terlalu meningkat, bila dibandingkan dengan keadaan awal. misalnya orang mau produksi pun sudah tidak ada, daya beli masyarakat pun sangat menurun sekali,” jelas Dr. Maryam Sangadji, yang juga Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.
Ia mencontohkan, pekerja harian tukang ojek online/manual, supir angkot dan lain-lain, dalam sehari pendapatan mereka sangat menurun, tidak sesuai dengan keadaan normal seperti sedianya (Pra Wabah Covid-19).
Selain itu, sektor pariwisata rata-rata juga mengalami penurunan. Dimana orang hendak bepergian di tempat rekreasi misalnay, di pantai Liang, Natsepa dan lain-lain, pun sudah sepi. Kondisi demikian, otomatis melumpuhkan ekonomi Maluku. Aktivitas ekonomi sudah tidak ada.
“Hal Ini terjadi sebelum diberlakukan pembatasan regional. Artinya, orang patuh terhadap situasi saat ini. Karena semua orang takut. Kan sekarang kita harus memilih kesehatan lebih penting atau ekonomi? tapi memang, semuanya harus seimbang. Namun dalam hal ini, bila masyarakat dibatasi, harus ada kebijakan dari pemerintah untuk memperhitungkan kondisi atau kebutuhan basic masyarakat,” timpalnya.
Dengan adanya penutupan atau pembatasan akses pelabuhan, kata dia, sebelumnya para pekerja harian, dan sektor perdagangan bisa jalan, tapi sekarang sudah tidak bisa. Para nelayan juga tidak bisa menjual hasil tangkapan ke kota Ambon.
“Kalau pun bisa, itu berarti barangnya saja yang jalan, namun orang tidak bisa. Lalu siapa yang akan mengatur proses penjulan atau pemasarannya? jadi memang kondisi ini mau tidak mau, kita harus memahami. Cuma harus ada kebijakan sebagai solusi yang diberikan pemerintah terhadap para pekerja harian ini. Di pulau Jawa pekerja harian diberikan intensif untuk memenuhi kebutuhan dasar mererka per minggu,” tandasnya.
Dr. Maryam berujar, sebagai alternatif dalam mengantisipasi agar keadaan ekonomi Maluku tidak kolaps alias jatuh melantai, secara nasional telah dibuat strategi kaitannya dengan penanganan wabah Covid-19. Misalnya, diprediklsi sampai kapan wabah ini, karena kebijakan turun dari pusat kemudian ditindaklanjuti daerah.
Misalnya prediksi puncak dari wabah Covid-19 di bulan Juli, itu berari pertumbuhan ekonomi secara nasional masih berada di 2 persen. Namun bila sampai di bulan September, maka harus ada strategi untuk dilakukan menguatkan ekonomi Indonesia dan Maluku khususnya tidak semakin memburuk.
Jika sampai September, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi akan mines. Kondisi itu, butuh strategi jitu guna menutup kelemahan yang ada saat ini. Harapannya, untuk Maluku, ada strategi lain untuk menumbuhkebangkan atau menyokong ekonomi daerah ini.
Menurutnya, untuk menopang atau menyokong ekonomi Maluku di tengah mewabahnya Covid-19, butuh penguatan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Ia menilai, sektor-sektor ini, sangat kuat untuk menyokong Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku, bahkan tiga sektor ini saat krisis pun tetap bertahan.
Untuk itu, tambahnya, perlu ada kebijakan pemerintah yang lebih terarah terhadap penguatan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan. Artinya, anggaran pemerintah harus dipush atau ditekan terhadap tiga sektor primer tersebut.
Dalilnya, karena 60 persen lebih mayoritas penduduk Maluku, berkerja di tiga sektor ini.
Hampir sebagian besar kontribusi 11 kabupaten dan kota se Maluku, masih digenjot oleh sektor primer ini. Sebelum Covid-19, ternyata anggaran di tiga sektor ini, anggarannya kecil, tidak proporsional dengan jumlah tenaga kerja yang ada di daerah ini notabenenya miskin.
Padahal, di saat krisis mereka bertahan hidup di tiga sektor ini. Bahkan situasi sekarang ini, mereka bisa bertahan. Karena, sektor ini sangat menjajnjikan. Jika misalnya ada pemberlakukan pembatasan berskala besar akan sangat sulit lagi.
“Pertimbangan kesehatan, mungkin rantai pasoknya atau pemasaran hasil pertanian, perikanan dan kehutanan masyarakat, ada sinergisitas antara pemerintah daerah dengan BI dan organisasi lainnya, memfasilitasi guna membeli hasil-hasil mereka. Karena tidak bisa secara physical, tetapi melalui digital farming. Kan di Maluku titik-titik market digital itu sudah ada. Terus harus ada intervensi pemerintah (push anggaran), sehingga mereka bisa meningkatkan produktivitas hasil,” pungkasnya. (S-14)