Keberatan yang diajukan terdakwa Ferry Tanaya di kasus dugaan korupsi pembelian lahan proyek PLTMG Namlea dinilai tidak mendasar.
Permintaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada majelis hakim untuk menolak eksepsi atau keberatan Ferry Tanaya dan Abdul Gani Laitupa.
AMBON, SPEKTRUM – JPU Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, Achmad Attamimi didampingi rekannya menyebut, eksepsi atau keberatan terdakwa Fery Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa terhadap dakwaan jaksa merupakan sikap atau tindakan tidak mendasar dan dibuat-buat.
Untuk itu, kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru ini harus dilanjutkan kepada tahap pembuktian materi perkara.
“Kami meminta kepada majelis hakim, agar menolak keberatan atau eksepsi terdakwa melalui kuasa hukumnya dan mengabulkan semua duplik Jaksa Penuntut Umum, agar persidangan dilanjutkan ke tahap pembuktian materi perkara,” jelas Attamimi dalam sidang pembacaan duplik atau jawaban atas ekpsepsi kuasa hukum terdakwa di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (18/5/2021).
Di persidangan yang dipimpin ketua majelis hakim, Pasti Tarigan Cs ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut, kepada majelis hakim agar alasan penasehat hukum terdakwa terkait perkara ini harus terlebih dahulu dibuktikan secara keperdataan tentang ada tidaknya hal perdata terhadap terdakwa atas objek tanah tersebut harusnya ditolak hakim dan tidak dapat diterima.
Selain itu, permohon terdakwa melalui kuasa hukumnya untuk menangguhkan pemeriksaan perkara ini, sampai ada putusan pengadilan negeri Namlea dalam perkara perdata Nomor: 2/Pdt.G/2021/PN, adalah tidak beralasan dan patut ditolak.
“Untuk itu, berhubungan dengan alasan-alasan kami (JPU), maka surat dakwaan penuntut umum Nomor: PDS.-01./Buru/04/2-2021, yang telah dibaca dalam persidangan, bagi kami telah di susun secara cermat, jelas dan lengkap sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a dan b UU Nomor: 8 tahun 1981 tentang KUHP,” tandas JPU.
Setelah mendengarkan duplik atau jawaban atas replik kuasa hukum terdakwa, majelis hakim menunda sidang hingga Jumat 28 Mei 20121 dengan agenda putusan sela majelis hakim.
Sebelumnya, pada sidang Selasa 11 Mei 2021 kemarin, tim kuasa hukum terdakwa Fery Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa meminta kepada majelis hakim agar membatalkan semua dakwaan jaksa penuntut umum karena dinilai cacat formil dan materil.
Hal tersebut disampaikan dalam persidangan dengan agenda eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum oleh tim kuasa hukum kedua terdakwa.
Diberitakan sebelumnya, dalam dakwaan jaksa penuntut umum Kejati Maluku, Fery Tanaya terdakwa kasus tindak pidana korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru didakwa dengan pasal berlapis.
Jaksa penuntut umum menyebut, Fery Tanaya didakwa melanggar pasal 2 dan pasal 3 UU Nomor: 31 tahun 2009 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor: 31 tahun 1999 tentang Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Pasti Tarigan Cs, dibuka dengan mendengarkan dakwaan JPU Kejati Maluku, Ahcmad Attamimi. Sementara terdakwa didampingi kuasa hukumnya, K. R. H. Henry Yosodiningrat, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (4/5/2021) lalu.
Penuntut umum dalam dakwaannya memaparkan, tindak pidana yang dilakukan terdakwa Fery Tanaya bersama-sama dengan terdakwa Abdul Gafur Laitupa (berkas terpisah) dengan melakukan penjualan tanah yang bukan milik pribadi atau tanah negara untuk kepentingan pembangunan PLTMG Namlea di Dusun Jiku Besar.
Modusnya, pada tahun 2016 PLN unit induk pembangunan Maluku melakukan pengadaan dan bangunan untuk kepentingan umum pembangunan kantor PLTMG yang lokasinya di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.
Kedua terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan penjualan tanah yang berupakan bekas hak erfpacht sebagaimana tertuang dalam surat (metbrief Nomor: 54) sesuai Akte Erfpacht Nomor: 19 tanggal 9 April 1932 seluas 644.000 m2.
Tindak pidana ini terjadi, awalnya, PLN mengirimkan surat kepada BPN Namlea pada tahun 2016 lalu, atas surat itu kepala Kantor BPN Buru, Jos Sorsesi (Alm), secara lisan memerintahkan terdakwa Abdul Gafur Laitupa selaku Kepala Seksi Pengukuran, di BPN Namlea, melakukan pengukuran yang direncakan akan digunakan sebagai lokasi kantor PLTMG, tepatnya di Dusun Jiku Besar.
Dalam rangka pengukuran tanah seluas 48.000 meter persegi, terdakwa Gafur membuat peta lokasi nomor 02208 tanggal 16 Juni 2016 tidak sesuai data sebenarnya yaitu, mencantumkan Nomor Induk Bidang 02208 dimana berdasarkan bidang komputerisasi tanah tersebut adalah milik Abdul R. Tuanaya.
“Jadi tanah milik Tuanaya itu dekatnya tanah milik terdakwa Fery Tanaya. Dan dia mencantumkan Fery Tanaya sebagai pemilik tanah. Kemudian dibuat peta lokasi 02208 dengan mencantumkan Fery Tanaya sebagai pemilik tanah,” beber jaksa.
Selanjutnya, lanjut jaksa, belakangan diketahui, lokasi tanah tersebut merupakan tanah negara yang kuasai negara, pasalnya tanah tersebut merupakan tanah erffacht sebagaimana tertuang dalam surat tanggal 9 April 1932 yang dengan pemegang hak adalah Zadrack Wakano (alm), yang meninggal pada tahun 1981.
Selanjutnya pada Agustus tahun 1985 dibuat transaksi antara almarhum Wakano dan Fery Tahaya.
“Jadi yang menjual beli tanah ini kepada Fery Tanaya adalah ahli waris Wakano, dalam transaksi itu disaksikan Drs. Uragap Kepala Wilayah Kecamatan Buru,” jelasnya.
Dalam putusan Presiden Nomor: 31 tahun 1979, terkait pokok-pokok terhadap hak atas tanah terhadap tanah konversi Hak-hak Barat dan Permendagri Nomor: 3 tahun 1979 tentang ketentuan mengenai permohonan dan pemberian hak baru atas tanah konversi Hak Barat, yang mulai berlaku tanggal 22 Agustus 1979, belum dilengkapi atas tanah tersebut.
Atas dasar peta lokasi yang dibuat oleh terdakwa Gafur, lanjut jaksa, panitia pengadaan tanah internal dan panitia pengadaan tanah PLN Unit pembangunan Maluku, melaksanakan tahapan-tahapan transaksi penjualan tanah.
Namun karena saat buat transaksi bekas hak erffacht telah melampui batas jangka waktu dilakukan konversi hak barat, hanya saja tetap dijualbelikan terdakwa Fery Tanaya kepada PLN.
“Setelah Wakanno meninggal, maka sesuai aturan tidak boleh ada orang yang mengkonversi lagi tanah tersebut, karena tanah itu sudah beralih status ke tanah negara, maka jual beli yang dilakukan Fery Tanaya itu adalah batal demi hukum,” jelasnya.
Akibat perbuatan Fery Tanaya, negara mengalami kerugian berdasarkan hitungan BPKP Maluku sebesar Rp.6 miliar lebih. (HS-18)