AMBON, SPEKTRUM – Akibat tertahannya BBM bersubsidi di PT Pertamina Wilayah Maluku dan Maluku Utara, atas sikap ambivalen BPH Migas, telah memicu ketegangan antara penumpang dan Anak Buah Kapal atau ABK di Pelabuhan Hurnala-Tulehu, Kecamatan Salahutu Provinsi Maluku.
Pasalnya, tidak ada BBM bersubsidi menyebabkan KM Cantika Roro terancam tidak bisa berlayar. Setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya kapal itu berangkat setelah molor sekitar 3 jam. Jadwal berangkat yang mestinya jam 14.00 wit molor hingga pukul 17.00 wit.
Negosiasi tersebut antara lain, pemilik kapal harus tandatangan pernyataan di Pertamina jika BPH Migas tidak kucurkan tambahan jatah BBM bersubsidi maka pemilik wajib bayar selisih harga minyak yg dipakai.
Menyikapi kondisi itu, Gayuh Tim Comunication and Relation PT Pertamina Wilayah Maluku-Maluku Utara menjelaskan, Pertamina dalam distribusi BBM bersubsidi hanya berdasarkan SK BPH Migas Nomor 52, 53 dan 54 tahun 2019 untuk ASDP, kapal umum dan perusahaan pelayaran. Posisi wilayah Ambon, realisasi BBM bersubsidi sudah 87 persen.
“Ada kemungkinan terjadi over kuota. Soal kebijakan tambah kuota bukan kewenangan Pertamina, tapi di BPH Migas. Untuk menyalurkan bisa saja, tapi nanti menyalahi peraturan pemerintah. Karena Pertamina hanya menyalurkan saja,” kata Gayuh kepada Spektrum via ponselnya, kemarin.
Ia mengklaim, BBM bersubsidi untuk ASDP masih aman, karena berada di posisi 55 dari 79 persen hingga akhir Maret. Sedangkan untuk perusahaan pelayaran sudah mencapai 102 persen.
“Ini sudah lebih dari kuotanya, Pertamina hanya menunggu saja kalau BPH Migas suruh tambah yah kita ikutin. Karena kebijakan ini tunggu rekruit dari BPH Migas,” kata Gayuh lagi.
Menyikapi hal tersebut, Gayuh mengaku pihaknya tetap berkomunikasi dengan BPH Migas. Dan tetap melaporkan kondisi yang terjadi saat ini ke BPH Migas, sebagai pemegang kewenangan.
“Pertamina hanya menjalankan apa yang diputuskan BPH Migas, Pertamina juga tudak mau terjadi kondisi seperti ini,” katanya.
Ia mengakui, terjadinya over kuota kemungkinan ada peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap transportasi laut. Selain itu, yang harus dipertimbangkan juga adalah BBM bersubsidi menggunakan APBN. Untuk itu harus menunggu keputusan Pemerintah Pusat.
Namun Pertamina punya dua kebijakan yang ditawarkan yakni, membeli BBM industri dengan harga diskon, atau jika tidak memungkinkan, maka konsumen bisa tetap mengambil BBM bersubsidi dengan membuat pernyataan.
“Ini berkaitan dengan audit BPK, makanya kita bertindak sesuai dengan aturan yang ditetapkan,” katanya.
Gayuh berharap, kondisi ini cepat selesai agar bisa ditindaklanjuti. Karena kalau kebijakan, maka pihaknya hanya mengikuti anjuran atau kewenangan BPH Migas. (S-16)