AMBON, SPEKTRUM, – Sejumlah konflik yang belakangan ini terjadi di Maluku dengan intensitas tinggi menunjukan gagalnya peran dan tanggung jawab negara dalam hal penegakkan hukum maupun dalam mengupayakan dan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mereduksi potensi konflik.
Hal ini disampaikan M. Ikhsan Tualeka, SIP. MIK, selaku Koordinator Maluku Crisis Center (MCC), dalam rilisnya yang diterima media ini.
Dijelaskan dari catatan Maluku Crisis Center dan tentu saja masih segar dalam ingatan publik, sepanjang tahun 2022 hingga awal 2023 ini sejumlah konflik mengemuka menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Seperti konflik antara Negeri Pelauw dan Negeri Kariu tanggal 26 Januari 2022 di Pulau Haruku yang menyebabkan 3 orang warga sipil dan satu anggota polisi tewas, serta ratusan rumah warga terbakar.
Selanjutanya bentrokan antara negeri bertetangga, Hulaliu dan Aboru juga di Pulau Haruku pada tanggal 15 Februari 2022 yang mengakibatkan satu warga Hulaliu meninggal dunia tertembak di bagian dada dan satu lagi mengalami luka-luka.
Dampak dari pertikaian atau konflik di Pulau Haruku itu sejumlah perkebunan cengkih milik warga Pelauw dan Hulaliu juga dirusak.
Begitu pula dengan bentrokan antar pemuda di kawasan STAIN Ambon, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon pada tanggal 9 November 2022 yang menyebabkan sejumlah orang terluka dan rumah warga ada yang rusak dan terbakar. Konflik antar dua kelompok sub etnik ini memang kerap terjadi.
Berikutnya kerusuhan yang terjadi pada 6 Oktober dan 12 November 2022 di Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Kerusuhan ini melibatkan tiga desa (Ohoi) di Kecamatan Kei Besar, yakni Desa Bombai dan Desa Ngurdu dengan Desa Elat.
Tercatat 2 orang warga meninggal serta 55 orang terluka.
Begitupun dengan konflik antar warga di Kota Tual, yang pecah pada tanggal 1 Februari 2023. Akibat konflik tersebut 13 orang terluka termasuk tiga anggota polisi. Bentrokan juga menyebabkan sejumlah rumah warga dan toko hangus dibakar massa.
Selanjutnya bentrok antara dua kelompok massa yang memang sudah terjadi untuk kesekian kalinya di Negeri Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah.
Puncaknya pada tanggal 26 Februari 2023 konflik antara pemuda dari Dusun Kampung Baru dan pemuda Dusun Kampung Lama itu menyebabkan satu orang tewas terkena anak panah.
Terbaru adalah konflik antara Negeri Wakal dengan Negeri Hitu-Hitu Messing tanggal 27 Februari 2023, yang menyebabkan satu orang warga tewas tertembak.
Sebelumnya pada 15 Januari 2023 ada warga Wakal diduga telah dianiaya dan mengalami luka serius di bagian kepala karena pukulan benda tumpul dan akhirnya meninggal.
Catatan konflik di atas belum terhitung sejumlah konflik lainnya yang tentu panjang daftarnya untuk ditulis satu persatu dalam release ini. Rata-rata semua konflik yang terjadi selalu di awali dengan sejumlah pemicu.
Mengkonfirmasi berbagai teori konflik, bahwa konflik sosial yang ada di masyarakat tidak terjadi begitu saja. Ada satu atau lebih pemicu dalam masyarakat tersebut yang menyebabkan antar individu atau kelompok bisa terlibat perselisihan dan konflik.
” Itu artinya sangat mungkin konflik bisa dicegah atau diantisipasi bila instrumen Negara, terutama aparat keamanan/penegak hukum dan pemerintah di daerah dapat mengambil langkah-langkah proaktif dalam menyelesaikan akar konflik, termasuk bila ada perbedaan pendapat atau kepentingan antara dua kelompok, kemudian membangun konsensus, sehingga konflik atau pertikaian tak berujung pada konflik sosial yang luas dan destruktif,” ungkap Tualeka.
Lambannya penanganan, tambahnya, berbagai persoalan, termasuk mereduksi potensi konflik dan konflik itu sendiri, seperti sengketa agraria, maupun peristiwa pidana lainnya yang kerap kali mengiringi, terutama di wilayah-wilayah bekas konflik atau sering berkonflik.
Ini menunjukkan negara kurang sensitif dan proaktif dalam mencegah terjadinya konflik sosial antar kelompok-kelompok yang bertikai itu.
” Fenomena atau realitas ini, mengindikasikan atau memberikan sinyalemen yang kuat gagalnya tanggung jawab negara dalam mencegah terjadinya konflik sosial yang luas dan eksesif di masyarakat. Negara gagal menjalankan kewajiban melindungi warga Negara atau obligation to protect, ” tegas Tualeka.
Untuk diketahui, salah satu kewajiban Negara adalah melindungi. Yakni, kewajiban Negara agar bertindak aktif untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Negara berkewajiban mengambil untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia (HAM) oleh pihak manapun.
“Itu artinya, pelanggaran HAM karena pembiaran (by omission) terjadi ketika Negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum. Kegagalan Negara tentu perlu ditandai dan dicatat, bahkan ditagih konsekuensi logisnya.” jelasnya pula.
Dijelaskan lanjut, dalam konteks konflik antara masyarakat seperti yang disebutkan, di mana di sejumlah titik konflik, menunjukan bahwa ketegangan atau konflik telah berlangsung lama.
Masing-masing pihak yang bertikai kerap telah melaporkan persoalan hukum yang menimpa mereka kepada pihak berwajib atau kepolisian. Namun pada kenyataanya hingga konflik sosial atau bentrokan terjadi, tak ada respon yang memadai sebagai kewajiban penegakan hukum yang tunjukan oleh Negara.
Terangnya lagi, negara seolah membiarkan potensi konflik atau akar persoalan tetap mengemuka dan pada akhirnya menjadi konflik sosial yang destruktif, karena masyarakat menggunakan mekanismenya sendiri dalam menyelesaikan masalah. Peristiwa atau konflik yang mestinya dapat dicegah akhirnya terjadi, Negara gagal melindungi warga Negara.
“Untuk itu, MCC mendesak segera ada evaluasi mendalam atas kinerja pimpinan kepolisian di berbagai jenjang di Maluku. Pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat untuk segera memberikan perhatian serius antara lain melalui monitoring, pendampingan atau asistensi baik itu terhadap otoritas sipil maupun keamanan di Maluku dalam mengatasi dan mereduksi potensi konflik,” tegasnya. ( TIM)