Daerah  

Pelantikan Raja Negeri Hitu Messing Menuai Polemik

AMBON, SPEKTRUM – Pelantikan H. Ali Slamat, sebagai Raja Negeri Hitu Messing, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, pada 5 Desember 2019 lalu, hingga kini masih menuai polemik. Pasalnya, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal melantik Raja Negeri Hitu Messing, di lain sisi masalah mata rumah parentah masih berproses di pengadilan.

“Kami pernah menyampaikan surat resmi maupun lisan kepada pak Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal, bahwa pencalonan raja Hitu Messing salah. Namun Bupati tidak menghiraukan surat kami. Hemat kami, Bupati sendiri membuat ‘bom waktu’ di tengah masyarakat yang kapan saja bisa meledak,” tandas mantan Penjabat Negeri Hitu Messing, Edwin Slamat, kepada wartawan di Ambon, Selasa,(07/01/2020).

Dikemuakannya, selama menjabat sebagai penjabat dari tahun 2012 hingga 2018, ia telah meminta Saniri Negeri untuk mencari Mata Rumah Parentah Hitu Messing. Saat itu, lanjutnya, Ketua Saniri Negeri adalah Johan Slamat. Dimana Penjabat memberikan waktu dua minggu. Tapi hanya berselang seminggu Mata Rumah Parentah telah ditetapkan.

“Waktu itu Johan Slamat membuat SK Mata Rumah Parentah. Dalam SK tersebut hanya satu nama yaitu dari marga Slamat (H. Ali Slamat). Sedangkan raja sebelumnya dari marga Pellu yakni H. Abdullah Pellu tidak ada. Padahal Abdullah Pellu ini adalah raja adat saat itu,” ungkapnya.

Anehnya, kata dia, semua proses pencarian mata rumah parentah sampai dengan penetapan calon raja dilakukan oleh Ketua Saniri tanpa sepengetahuan. Yang ditetapkan hanya H. Ali Slamat, sementara Abdullah Pellu, raja adat, yang juga mencalonkan diri tidak diterima.

“Sedangkan sebagai penjabat (saya) tidak diberitahukan. Peraturan Negeri harus sepengetahuan saya, tapi semuanya mereka yang atur. Jadi aneh. Dan saya sudah sampaikan kepada Bupati Malteng, kalau prosesnya salah. Namun pak Bupati tidak menggubris,” kesalnya.

Celakanya, dalam peraturan daerah tentang negeri adat tahun 2006, menjelaskan sebelum pelantikan raja secara pemerintahan, seharusnya diawali terlebih dahulu oleh pelantikan secara adat. Hal Ini agar menjelaskan bahwa pelantikan adat berjalan bagus. karena, Hitu Messing merupakan negeri adat.

“Negeri Hitu Messing adalah negeri adat. Seharusnya pelantikan adat dulu baru pelantikan secara pemerintahan definitif. Itu aturan yang bilang. Bahkan pemilihan H. Ali Slamat, tanpa dibentuk panitia pencalonan raja,” bebernya.

Sementara itu, Abdullah Pellu, raja adat, usai menjadi saksi dalam persidangan terkait Mata Rumah Parentah di Pengadilan Negeri Ambon, kemarin, mengaku, saat ini berbagai cara mereka lakukan agar dapat menyelenggarakan pelantikan secara adat.

Raja yang dilantik tersebut telah merencanakan untuk pelantikan adat pada 18 Januari 2020. Mereka bahkan hendak melakukan pengecatan rumah raja yang ditempati Abdullah Pellu (raja adat). Namun terjadi permasalahan hingga nyaris bentrok.

“Sebab pelantikan raja secara adat itu harus seijin Saya. Namun saya tidak mau, karena H. Ali Slamat ini bukan keturunan raja. Mereka ini hanya keturunan khatib (imam sementara) di masjid. Badan yang berwenang untuk melantik raja secara adat pun tidak mau melakukan hal itu, karena mereka tahu kalau Ali Slamat itu bukan raja adat. Mereka (tua adat) tahu, yang harusnya jadi raja itu dari kami. Belum ada titah dari saya, mereka tidak berani,” kata Abdullah Pellu.

Setelah terjadi permasalahan, kelompok yang mendukung Abdullah Pellu, raja adat, dan pendukung Ali Slamat, raja pemerintahan dimediasi di Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease di Kota Ambon, Rabu (2/1) lalu. Rapat mediasi itu juga dihadiri Kapolresta Pulau Ambon dan Dandim 1504 Pulau Ambon.

“Mediasi dihadiri dua pihak. Kami sampaikan dalam proses pencalonan raja, kenapa yang muncul cuma satu nama, sedangkan kami juga mengikuti proses itu. Akibat masalah tersebut berjalan kurang lebih 8 tahun,” ungkapnya.

Selama ini, lanjutnya, proses pemilihan raja sesuai peraturan daerah tidak pernah dilakukan oleh penjabat H. Ali Slamat, yang kini telah dilantik sebagai raja devinitif oleh Bupati. Harusnya penjabat membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa dengan Badan Pemerintahan Negeri (BPN), tapi tidak pernah dilakukan.

“Pertanyaannya kemana usulan kami sebagai hak mata rumah parentah? Meskipun ada dua, tapi seharusnya dilakukan proses pemilihan. Sebab dalam penjelasan peraturan daerah ayat 2 tentang negeri adat itu, usia untuk menjadi raja dikesampingkan,” timpalnya.

Dalam mediasi yang dilakukan di Mapolresta Pulau Ambon memutuskan, kedua belah pihak harus mengamankan situasi keamanan. Selanjutnya tentang rumah raja, hal ini diselesaikan di Pengadilan Negeri Ambon.

“Menyangkut keputusan pelaksanaan prosesi pelantikan raja negeri adat, akan kami musyawarah kembali pada hari Jumat, 3 Januari 2020, Camat menghadirkan Bupati Maluku Tengah dan segala kegiatan kedua belah pihak tidak melakukan kegiatan apapun. Artinya mereka tidak melakukan kegiatan apapun di rumah raja,” tuturnya.

Merjuk poin ke tiga tersebut, hingga kini tidak ada kabar selanjutnya terkait keputusan bersama kedua pihak yang disaksikan oleh Kapolresta Pulau Ambon dan Dandim 1504 Pulau Ambon. (S-06)