AMBON, SPEKTRUM – Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Maluku Tengah, Juli Isnur Boi, dinilai bertindak diskriminatif. Akibat penegakan hukum terkesan tebang pilih, setelah menangguhkan penahanan empat tesangka korupsi, proyek irigasi Sari Putih, Kecamatan Kobi-Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Padahal, empat tersangka itu baru menjalani masa penahan pertama kurang lebih satu minggu di Rutan Klas IIB Masohi, Ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Mereka kemudian “dibebaskan” (ditangguhkan penahanan), oleh Kajari Malteng dengan alasan telah mengembalikan kerugian negara.

Pengamat Hukum Ilham Souwakil berasumsi, setiap tersangka termasuk tersangka korupsi, memang punya hak untuk ajukan permohonan penangguhan penahanan. Kejaksaan sebagai penyidik, punya kewenangan untuk menerima atau menolak penangguhan penahanan.

Dikemukakannya, salah satu asas negara hukum, semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum atau equality before the law.

“Tapi fakta yang terjadi sebaliknya, ada pembedaan perlakuan Kajari Malteng terhadap tersangka korupsi, khususnya dalam pemberian penangguhan penahanan. Hemat saya, indikasi ada diskriminasi disini,” tegas Ilham Souwakil, saat dimintai komentarnya oleh Spektrum, Rabu (01/04/2020).

Ilham menyayangkan sikap Kejari Malteng, yang menangguhkan penahanan empat tersangka korupsi proyek Irigasi Sari Putih.

“Karena terkesan bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk pemberantasan korupsi. Apalagi korupsi kan dikenal sebagai kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime. Dengan adanya penangguhan penahanan itu, akan memunculkan multitafsir di masyarakat,” tandasnya.

Biasanya, lanjut Ilham, kejaksaan punya pertimbangan untuk memberikan penangguhan penahanan.

“Jika alasannya sudah mengembalikan uang ke negara, terus diberi penangguhan penahanan, pertanyaannya dasarnya apa? terus bagaiamna dengan koruptor dana desa atau ADD yang mengembalikan kerugian negara, apakah juga bisa ditangguhkan penahanan mereka,” sergahnya.

Sikap Kajari Malteng itu akan melahirkan asumsi di tengah publik, kasus korupsi sama saja dengan pidana pidana umum lainnya.

“Orang akan gampang korupsi, karena koruptor diberikan kemudahan untuk bisa mangkir dari penahanan atas ijin penyidik. Hukum jangan dibikin tajam ke bawah, sebaliknya tumpul ke atas,” sentilnya.

Karena janggal, Ilham meminta Jaksa Agung Muda Bagian Pengawasan dan Komisi Kejaksaan Kejagung RI, segera memanggil Kajari Malteng Juli Isnur Boi, untuk dievaluasi atas masalah penangguhan penahanan tersangka korupsi tersebut.

“Kejagung RI segera mengevaluasi Kajari Malteng Juli Isnur Boi. Karena kita dengar bersangkutan (Juli Isnur Boi), juga pernah punya masalah saat menangani kasus korupsi di luar Maluku. Kami kuatir, jangan sampai hal yang sama akan terjadi lagi di Maluku Tengah,” pungkasnya.

Sebelumnya, Juli Isnur Boi mengklaim, pengembalian kerugian keuangan oleh tersangka Beni Lyando, Yonas Riuwpassa, Markus Tahya dan Ahmad Litiloly, atas kesadaran mereka sendiri.

“Kerugian keuangan negara dikembalikan dengan kesadaran langsung dari pelaku,” katanya.

Beny Liando

Padahal, penahanan terhadap empat tersangka yakni, Beni Lyando, Yonas Riuwpassa, Markus Tahya, dan Ahmad Litiloly telah dilakukan. Namun, empat hari berikutnya, Kajari Malteng menangguhkan penahanan mereka, setelah Penasehat Hukum melobi pihak Kejari Malteng.

Ditengarai pembayaran administrasi untuk penangguhan penahanan empat tersangka itu, diduga dibiayai oleh Ismail Usemahu, mantan Kadis PU ProvinsI Maluku, sekarang Kadis Perhubungan Provinsi Maluku.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku, Yudi Handono, saat dikonfirnmasi Spektrum Rabu (01/04/2020), terkait masalah Kajari Mateng Juli Isnur Boi yang menangguhkan penahanan empat tersangka korupsi tersebut, justru enggan berkomentar alias bungkam.

Pihak Kejati Maluku menyarankan, untuk menanyakan penangguhan penahanan para tersangka itu ke Kejari Malteng. Padahal, pernyataan Kajari Malteng, Juli Isnur Boi sudah diketahui pihak Kejati Maluku.

Wartawan Spektrum pun mengonfirmasi Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette, namun dia tidak berani mengomentari masalah ini. Alasannya ihwal itu sudah menjadi kewenangan pimpinan (Kajati Maluku).

“Kalau soal evaluasi itu wewenang pimpinan. Sehingga kurang pas, jika saya yang harus menjelaskan,” ujar Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette, kepada Spektrum, Rabu, (01/04/2020) melalui pesan elektroniknya.

Wartawan Spektrum meminta waktu untuk menemui Kajati Maluku, namun Samy hanya menyarankan agar soal penangguhan penahanan empat tersangka itu ditanyakan ke pihak Kejari Malteng.

“Pasti ada alasan yang dapat diterima secara hukum, apabila hal tersebut dilakukan,” kata Samy Sapulette.

Max Tahya dan Mad Litiloly

Diketahui, perkara ini Kejari Malteng menetapkan lima orang tersangka. Masing-masing Beny Liando (kontraktor), Yonas Riuwpassa, Direktur Utama PT Surya Mas Abadi, Markus Tahya (Direksi), dan Mad Litiloly, PPTK, dan Megy Samson, mantan Kabid Pengembangan Sumber Daya Air Dinas PU Provinsi Maluku. Empat tersangka sebelumnya ditahan, namun kemudian ditangguhkan oleh Kajari Malteng.

Proyek peningkatan saluran Irigasi Sari Putih, Kecamatan Kobi-Seram Utara Kabupaten Malteng tahun 2016/2017 senlai Rpp.2 miliar lebih. Dananya bersumber dari APBD Provinsi Maluku.

Saat itu, Ismail Usemahu Kadis PU Maluku (KPA), tapi tidak ditetapkan sebagai tersangka. Padahal proyek ini faktanya mangkrak, dan berpotensi korupsi. (S-14/S-05)