AMBON-SPEKTRUM – Stigma terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sampai saat ini masih cukup besar yang membuat ODGJ banyak menggelandang tak terurus. Padahal kepedulian keluarga dan lingkungan sangat membantu mereka pulih.
Hal ini dikatakan David Santoso, Direktur Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD), Provinsi Maluku, di ruang kerjanya, Kamis, (8/10/2020).
“Stigma cukup besar. Orang tidak mau bergaul (dengan ODGJ-red). Harusnya komunitas dan lingkungan peduli. Saling menguatkan. Saling mengisi dan mengasuh. Memperhatikan, selain keluarga inti sendiri”, pintanya.
Menurutnya , manusia terdiri atas tubuh dan jiwa. Jiwa terdiri dari tiga unsur, pikiran, perasaan dan perilaku. Yang mengendalikan semua adalah jiwa. Jadi jiwa sangat penting dijaga dan dirawat. Jika jiwa terganggu, perlu ke dokter dan dirawat sama seperti penyakit jantung, diabetes dan penyakit organik lainnya.
“Mengapa kalau sakit jantung malah ditunjukkan. Tidak ada yang mengolok-olok. Kan gangguan jiwa sama saja”, tandasnya.
Di negara-negara maju maupun di kota-kota besar. Kesehatan jiwa sangat diutamakan. Mereka menganggap kesehatan jiwa adalah investasi sumberdaya manusia jangka panjang. Olehnya, ia berharap sudah ada inisiatif untuk membuat kelompok dukungan dan relawan sehingga ketika selesai dirawat di Rumah sakit, kembali ke masyarakat, ODGJ dapat pulih dan produktif, walau seringkali tidak seratus persen sama seperti ketika sebelum mengalami gangguan jiwa.
RSKD, lanjut David, sudah mengembangkan kerjasama dengan rumah sakit di Taiwan agar rumah sakit yang dipimpinnya ini lebih baik lagi dalam pelayanannya. Bentuk kerjasama yang disebut “Sister Hospital” itu dengan mengirimkan sejumlah perawat praktek magang di negara tersebut. Harapannya, sub spesialisasi yang saat ini masih diklasifikasikan “B” dapat naik peringkat menjadi “A”.
Ia berharap, setelah sumberdaya memadai, RSKD dapat menjadi pusat psikiatri komunitas, sosial dan remaja. Apalagi jika sudah ada Panti Bina Laras yang bisa dikeroyok oleh banyak pemangku kepentingan lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Relawan Peduli sehingga masa depan ODGJ bisa terjamin.
Senada dengan David, Ketua Perawat Jiwa Maluku, Betsy Polnaya juga mengatakan pentingnya dukungan keluarga dalam pemulihan pasien karena rehabilitasi di RSKD paling lama dilakukan satu bulan, setelah itu pasien dikembalikan kepada keluarganya. Karena stigma, setelah kembali, ODGJ dikucilkan dan bahkan ada yang sengaja dibuang, tidak diakui karena masih menganggap bahwa gangguan jiwa adalah penyakit yang memalukan. Banyak keluarga pasien yang tidak mau tahu dan sulit menerima jika ada anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. Menganggap RSKD adalah tempat pembuangan.
Perawat yang sudah duapuluh tahun lebih mengabdi di RSKD, khususnya di ruangan gaduh gelisah ini banyak belajar sabar, tulus dan ikhlas. Ia juga mengembangkan keahliannya dengan mengambil profesi jiwa.
Betsy mengatakan, kebanyakan pasien yang masuk itu masih dalam keadaan gelisah. Otomatis sasaran empuknya adalah perawat. Jika tidak sabar melayani, akan balik menyerang pasien. Tetapi ia merasa merawat pasien gangguan jiwa adalah panggilan mulia yang membuatnya bahagia.
“Dari sekian banyak keluarga yang membawa pasien, tempat ini adalah tempat terakhir, tempat buangan. Kadang ada yang tidak bisa menerima dan tidak mau tahu,” ungkapnya.
Ia mengatakan, pengobatan gangguan jiwa harus dilakukan rutin. Jika pengobatan terhenti hanya satu kali saja ketika gaduh gelisah dan bertahun kemudian baru ditangani kembali, bisa dipastikan prosesnya akan kembali seperti di awal pengobatan dan menjadi sia-sia saja usaha sebelumnya. (S.17).