Tak Masuk Grand Design, Laut Aru akan Disasi

AMBON, SPEKTRUM – Tidak masuk dalam grand design Lumbung Ikan Nasional (LIN) sebagai salah satu industri perikanan atau Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT), masyatakat Kabupaten Kepualaun Aru mengancam akan melakukan sasi adat terhadap laut Aru.

Salah satu Tokoh Pemuda Aru, Collin Lepuy, kepada Wartawan, di Ambon, Rabu (14/10) menegaskan, jika Aru tidak dilihat sebagai bagian penting dalam LIN, dalam hal ini menjadikan Aru sebagai industri perikanan atau SKPT, 

maka pihaknya akan tetap melarang dan menolak kebijakan Pemerintah Pusat terkait LIN.

“Silakan Pemerintah bikin di laut Seram. Kami akan desak sampai Menteri harus turun dan bicara dengan masyarakat. Surat dari kelompok pemuda Aru sudah sampai ke Menteri. Gerakan kita akan tetap berjalan. Dan sebelum Pepres tentang LIN ini disahkan, aspirasi kita harus diakomudir,”tegasnya.

Dikatakan, Maluku adalah daerah kepulauan. Dengan itu, maka kebijakan sentralisasi harus melihat itu agar tidak mengabaikan daerah lain, seperti Aru yang diketahui sebagai penghasil ikan terbesar.

“Kami menolak LIN karena memang ada proses sentralisasi kebijakan LIN yang hanya difokuskan pada 1 daerah dan mengabaikan daerah lain, padahal Aru menghasilkan ikan dan komuditi lain sebanyak 2,6 juta ton per Tahun. Untuk itu sangat aneh ketika dalam paparan Pemerintah Provinsi terkait grend designnya, Aru diabaikan dan hanya dijadikan sebagai pengumpul, padahal Aru harus dijadikan sebagai salah satu industri perikanan. Ini yang kemudian kami tolak,”katanya.

Menurutnya, belajar dari pengalaman sejarah eksploitasi  di indonesia, maka apa yang dibuat Pemerintah saat ini, yaitu membuat kebijakan atau program yang dikulit baik, tetapi sebetulnya memciptakan praktek eksploitasi di dalamnya. 

Pasalnya, aneh jika hari ini, ada kebijakan yang baik, tetapi kemudian mengabaikan Aru sebagai penghasil perikanan terbesar di Indonesia. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan.

“Di Maluku ini ada 3 WPP, 714 ada di wilayah laut Banda dan sekitarnya, WPP 715 di wilayah Seram, dan WPP 718 di wilayah laut Aru-Arafurah dan sampai wilayah laut Timur. Dan yang paling potensial itu ada di Aru, yang kita lihat saat ini ada 1.600 kapal berskalah 80-200 GT yang beraktifitas disana,”katanya.

Menurutnya, kebijakan LIN tidak menggunakan pendekatan desentralisasi, karena menfokuskan industri perikanan hanya pada satu daerah tertentu.

“Kalau Pemerintah ini jujur, maka pendekatan disentralisasi. Kita ambil contoh perusahan Pusaka Benjina Resorcis yang beroprasi di Aru. Itu bisa memberikan pendapatan sumbangsi bagi Tailand pada Tahun 2011, sebesar Rp. 7 miliar US Dolar atau Rp. 105 triliun. Dan 2020 ini, data yang ada, indonesia punya ekspor perikanan sekitar 1,24 US dolar atau Rp. 15 trilun. Ini berbanding terbalik dengan Aru, ketika dikelola oleh perusahaan Tailan. Artinya potensi perikanan terbesar itu ada di Aru,”jelasnya.

Sementara soal nilai tukar perikanan dan nelayan. Yang mana Perikanan 2020 berdasarkan data BPS, anjlok 0,29 persen, padahal idealnya 0,10. Jika lebih dari itu, berati ada yang salah. Sedangkan nilai tukar nelayan 0,24 persen. Dan ini berbanding terbalik dengan data Kementrian Kelautan dan Perikanan. Itu artinya, anggaran 1,24 itu hanya berputar dikalangan elit di Jakarta. Sementara nelayan tidak mendapat apa-apa.

“Buktinya 1.600 kapal tidak ada masyatakat Aru yang bekerja disitu, padahal mereka beraktifitas di wilayah adat masyarakat Aru. Selain itu, Sampai hari ini, kita belum dapat masterplan terkait dengan ada berapa banyak nelayan kecil dan bagaimana proses pemberdayaan mereka dalam konteks LIN nantinya.  Ini karena Pemerintah hanya fokus pada infrastruktur,”ujarnya.

Memang tambahnya, Aru saat ini harus dibangun infrastruktur pendukung, seperti kelistrikan dan perluasan Bandara. Untuk itu, dengan kebijakan besar yang anggarannya Rp. 3,2 triliun dan Maluku mendapat Rp. 1,5 triliun. Maka dengan anggaran besar itu mestinya mampuh membanhun infrastruktur itu.

Terkait dengan upaya Aru masuk dalam grand design LIN, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Kepulauan Aru, Semuel Irmuply yang dikonfirmasi Spektrum mengaku, pihaknya telah menemui Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku dan juga pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara. Agenda itu untuk menindaklanjuti apa yang disuarakan oleh pemuda Aru, baik di Aru, Ambon maupun di Jakarta.

“Tanggapan Kadis, bahwa untuk Aru sedang diupayakan. Tetapi memang harus disiapkan masalah infrastruktur seperti Kelistrikan dan perluasan Bandara dan pesawat-pesawat harus boing, tidak bisa lagi pesawat kecil yang sekarang. Kami juga menemui pihak PLN untuk membicarakan bagaimana penambahan daya di Kabupaten Aru,”tuturnya.

Prinsipnya, DPRD mendukung LIN, tetapi jika tidak sesuai denhan keinginan masyarakat Aru, maka akan ditolak.

Aru sebagai penghasil SDA terbesar bidang perikanan, hanya dijadikan sebagai pengumpul. Padahal, jika kendalanya adalah infrastruktur pendukung itu,  maka mestinya pemerintah menyiapkan itu.

“Sekarang, grend design untuk tempat pengolahan itu hanya ada di Waai, Tulehu, Liang. Aru tidak ada, untuk itu kita minta Aru juga harus masuk. Kalau dalam pertemuan dengan Kadis disampaikan, bahwa 3 titik itu karena dianggap strategis. Tetapi Pemerintah tahu, bahwa Aru adalah penghasil ikan terbesar. Intinya jika apa yang menjadi keinginan kamk tidak dipenuhi, maka kami akan tetap menolak. Bagaimana kita yang punya ikan banyak tapi kita yang jadi pengumpul,”cetusnya.

Hal ini akibat dari ketidakserius dan ketidakjujuran Pemerintah Provinsi melihat Aru sebagai bagian penting dalam konteks LIN. (S-01)