Ferry Tanaya dituding dikriminalisasi, setelah dua kali ditetapkan tersangka. Ada rekayasa yang dilakukan oknum jaksa penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku.

AMBON, SPEKTRUM – Henry Lusikooy mencium ada upaya kriminalisasi terhadap klainnya Ferry Tanaya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan bagi pembangunan PLTMG 10 MW di Pulau Buru.

“Sudah menjadi opini publik. Publik pun bertanya-tanya ada kepentingan apa dibalik perkara ini. Hampir empat tahun masyarakat Maluku khususnya masyarakat kota Ambon telah dipertontonkan dengan tontonan yang sangat menggelikan. Ini kediktatoran terselubung dan over kriminalisasi,” kata Henry.

Dia menuding, oknum penegak hukum Kejaksaan Tinggi Maluku dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi bermain dalam kasus ini. “Subjek korban dari kediktatoran dan over kriminalisasi adalah kliennya saya, Fery Tanaya,” jelasnya.

Lusikooy menjelaskan, oknum jaksa telah mengubah, memaksa suatu perbuatan yang bukan pidana menjadi perbuatan pidana.  Bentuk kediktatorannya adalah penyidik menabrak Putusan Mahkamah Konstunsi Nomor: 130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017 dan Hukum Acara Pidana serta segala bentuk aturan lain yang telah menetapkan bahwa penetapan tersangka hanya berlaku dalam ruang lingkup penyidikan.

Dikatakan, untuk memenuhi unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 (1) dan Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 beserta perubahannya. Penyidik telah mengkriminalisasi aturan guna memenuhi unsur tersebut, antara lain :

Penyidik merekayasa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi; “Tanah hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai asal konversi Barat, yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung  oleh negara”.

Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku.

“Bahwa rekayasa yang dimaksudkan adalah karena tanah yang dikuasai langsung  oleh Negara sebagaimana yang digaris bawahi tersebut, dikriminalisasi oleh diktator oknum penyidik Kejati Maluku dengan mengubah maknanya menjadi Tanah Milik  Negara, padahal arti sebenarnya dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah bukan tanah milik negara sebagaimana yang direkayasa tersebut, melainkan arti sebenarnya adalah tanah yang belum dilekati hak atau disebut tanah negara, dengan dasar hukum kebenarannya adalah sebagai berikut :

Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah Tanah Negara sebagaimana Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor: 9 tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Tanah Negara, adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah sebagaimana Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Kata dikuasai oleh Negara bukanlah dimiliki oleh negara, Sebagaimana Undang- Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria, dalam Penjelasan umum Angka Romawi II bagian (2) dijelaskan bahwa dikuasai dalam pasal tersebut bukanlah berati dimiliki,” jelasnya.

“Merekayasa bahwa Fery Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena tanah tersebut bukan milik Fery Tanaya melainkan milik Negara,” ulangnya.

Bahwa Fery Tanaya tidak berhak menerima ganti rugi adalah kebohongan besar, yang dibuat penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku, karena kebenarannya secara hukum adalah Fery Tanaya berhak menerima ganti rugi, sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dikatakan, penyidik menjadikan Fery Tanaya seorang swasta selaku tersangka Korupsi. Padahal dia bukanlah petugas Negara yang memiliki kewenangan karena jabatan atau kedudukan sebagaimana unsur Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 beserta perubahannya.

“BahkanFery Tanaya disangkakan dengan Pasal 55 KUHPidana karena turut membantu. Sedangkan subjek penanggung jawab perkara pokok yaitu PLN tidak bersalah. Sehingga kriminalisasi yang dilakukan oleh penyidik sudah terlalu kontras karena pelaku perkara pokok dalam hal ini pihak PLN tidak terbukti melakukan kejahatan korupsi dalam pembayaran kepada saudara Fery Tanaya,” jelas Lusikooy.

Pembayaran ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan, bukanlah Fery Tanaya seorang diri, melainkan banyak subjek penerima ganti rugi. Bahkan ada subjek penerima yang status tanahnya juga masih hak kolonial, akan tetapi kediktatoran penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku. (TIM)