Publik mengevaluasi kepemimpinan Tagop Sudarsono Soulissa. Sepuluh tahun menjadi Bupati Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, Tagop dinilai tidak membawa perubahan dan gagal membangun daerah dan masyarakat Bursel.
AMBON, SPEKTRUM – Selama sepuluh (10) tahun kepemimpinan Tagop Sudarsono Soulisa sebagai Bupati di Buru Selatan, dinilai tidak berhasil karena tidak ada karya besar yang bisa dinikmati masyarakat. Bahkan, Tagop dinilai gagal memimpin kabupaten tersebut. Gagalnya bupati dua periode yang diusung PDI Perjuangan karena lebih sering berada di luar daerah.
Salah satu warga Buru Selatan yang ditemui Spektrum, Anzar Nurlatu menegaskan, pemekaran Buru Selatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun nyatanya rakyat Buru Selatan terkesan “dianaktirikan” di negeri sendiri.
“Tidak ada pembangunan yang berafiliasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bursel, kami tidak merasakan dampak pembangunan di Buru Selatan,” kata Anzar Nurlatu di Pelabuhan Slamet Riyadi, Ambon, Rabu, (11/12/2019).
Selain itu, menurutnya, masyarakat Buru Selatan miskin, dan Pemda Bursel harus mempercepat pembangunan misalnya presure pembentukan Polres, Kejari dan Perguruan Tinggi. Jika lembaga ini dibangun, kata dia, maka proses pengawalan terhadap kasus korupsi berjalan dengan baik.
“Sebagai masyarakat kami berharap, Tagop Soulisa tidak terlalu sering keluar daerah dengan alasan perjalanan dinas. Saat ini Tagop betah di Buru Selatan gencar sosialisasi karena isterinya akan maju di Pilkada Bursel tahun 2020 nanti,” katanya.
Tagop sering gembar-gembor keberhasilannya memimpin Bursel misalnya, sampai dengan tahun 2018 pelaksanaan pembangunan unit sekolah maupun rehabilitasi ruang kelas sebanyak 653 ruang.
“Apakah, pernah ke daerah pedalaman misalnya, Fenak Fafan? lihat, kondisi sekolah, Pustu dan lainnya, sangat memprihatinkan,” kata Anzar Nurlatu.
Di wilayah pedalaman, lanjutnya, misalnya satu sekolah ada yang hanya memiliki 1 guru PNS dan lainnya guru honor lulusan SMA. “Itupun pembayaran insentif mereka sangat kecil dan tidak manusiawi,” tandasnya.
Lalu infrastruktur lainnya, misalnya alat transportasi laut, darat, dermaga dan lainnya juga terkesan tidak diperhatikan.
“Jalan tani juga sangat kurang, belum lagi sarana perekonomian misalnya, kondisi pasar dan lainnya. Apakah ini sebuah keberhasilan? pimpin Bursel selama 10 tahun, apa yang bisa dibanggakan? Gedung Olahraga yang bagus di luar tapi rapuh bangunannya, berapa atlet yang dipersiapkan dalam sebuah event? terlalu banyak kebohongan yang dikemukakan ke maasyarakat luar. Selama 10 tahun memimpin Bursel pak Tagop gagal,” tegasnya.
Tolak Dinasti Politik
Kini setelah Tagop Sudarsono Soulisa memimpin selama 10 tahun, masyarakat Bursel dikejutkan dengan keputusan isteri Tagop, Safitri Malik yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Bursel 2020-2025. Jika Safitri Malik maju dan menang, dikhawatirkan akan tercipta pemerintahan warisan atau dinasti.
Anzar Nurlatu secara tegas menolak Safitri Malik menjadi Bupati Bursel 5 tahun mendatang. “Sebagai warga Bursel, saya tidak setuju jika isteri Tagop Soulisa maju di Pilkada, karena kami tidak ingin ada kekuasaan dinasti di Bursel,” tendasnya.
Sementara itu, Nick Retraubun akademisi Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) menilai, majunya isteri Bupati Bursel pada Pilkada 2020 wajar dan tidak masalah.
“Menurut hemat saya, tdak menjadi persoalan kalau memang itu keinginan masyarakat namun hal itu harus dihindari berkaitan dengan dinasti. Karena nantinya selesai suami maka isteri yang maju setelah itu diganti anak. Tetapi kalau itu keinginan masyarakat maka tidak ada masalah,” kata Nick Retraubun saat dimintai oleh Spektrum, Rabu, (11/12/2019).
Menurut dia, jika masyarakat resah karena pembangunan tidak jalan namun ada keinginan untuk meneruskan tahta yang akan ditinggalkan suami, maka kesalahan ada pada masyarakat.
“Jangan persalahkan yang terdahulu, tetapi kalau itu menjadi acuan maka secara otomatis, keputusan ada di masyarakat walaupun ada keinginan pribadi untuk maju. Namun kalau masyarakat melihat ini sebagai ancaman dan ketidakberhasilan, sebaiknya jangan dipilih. Semuanya dikembalikan ke masyarakat bukan ke orang yang akan maju karena saat ini masyarakat yang berdaulat bukan pemimpin,” terangnya.
Menyinggung soal faktor uang yang lebih berperan pada setiap pemilihan umum, Retraubun menjelaskan, bicara politik, sesungguhnya money politic tetap ada pada seluruh tingkatan Pemilihan Umum, baik Pileg ataupun Pilkada. Dalilnya, belum didudukan secara pasti kriteria money politic.
“Orang yang membayar minuman di rumah kopi juga bagian dari money politic. Money politic bukan hanya ketika si A dapat uang dengan jumlah tertentu saat Pileg atau Pileg dan Pilpres namun membayar minuman di rumah kopi juga money politik,” jelasnya.
Dia menyerahkan seluruh keputusan kepada rakyat. “Kalau yakin suaminya gagal maka sebaiknya jangan memilih isterinya. Namun jika masyarakat mau menukar haknya 5 tahun ke depan dengan uang senilai Rp 50.000 maka itu keputusan masyarakat,” tandasnya.
Yang pasti, kata dia, kekuasaan dinasti tidak pantas diteruskan kecuali banyak keberhasilan yang dilakukan. Jika ada indikasi politik uang, sebaiknya masyarakat menolak dan melapor ke lembaga terkait.
“Namun jika menerima uang atau pemberian tertentu maka masyarakat turut melegalkan money politic dan jangan ada penyesalan,” tukasnya.
Terpisah akademisi lainnya menilai, dinasti politik yang diduga tengah dibangun Tagop, memang tidak ada aturan yang melarang itu. Namun secara moral, tidak elok dengan sistim demokrasi yang dianut di Indonesia.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpati Ambon, Mohammad Borut menilai, dinasti politik di Bursel ditandai dengan majunya istri Tagop Soulissa, dalam hal ini Safitri Malik Solissa, harus dievaluasi kembali.
“Harus direview sepuluh tahun kepemimpinan pak Tagop di Bursel. Sebenarnya memang tidak ada aturan membatasi warga negara untuk mencalonkan diri dan dicalonkan menjadi kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati maupun Walikota. Tapi dari sisi etika politik, harus dipertimbangkan. Sebab dinasti politik itu akan berseberangan dengan sistim demokrasi kita,” jelasnya.
Menurutnya, Tagop harus memberikan kesempatan atau ruang kepada putra dan putri terbaik lainnya di Bursel, untuk mencalonkan diri menjadi buati Bursel kedepan.
“Kalaupun kemudian, istrinya (Tagop) yang dijagokan lagi untuk maju, demokrasi memang sangat membuka ruang untuk siapa pun, tetapi dari sisi adat dan moralitas kita orang Maluku, politik itu, tidak seperti itu. Semua itu kembali lagi ke masyarakat Bursel. Apakah mereka masih menginginkan kekuasaan itu masih berada ditangan Tagop dan lingkarannya, ataukah berpindah ke tangan orang lain,” jelasnya.
Dikemukakan, kekuatan finansial dan cost politik, jangan dijadikan satu indikator penting dalam sebuah kontestasi politik.
“Saya melihat, tahun 2020 empat kabupaten akan melakukan pilkada. Bursel menarik, karena banyak yang akan calon, kurang lebih ada 13 orang. Itu berarti, ada keingingan untuk melakukan perubahan di Bursel. Tapi kembali lagi ke mereka, apakah mereka mampu atau tidak mengembangkan kekuatan yang ada,” tuturnya. (S-16/S-06)