AMBON,SPEKTRUM-Aksi bentrokan antara masyarakat Negeri Sawai dan Masyarakat Negeri Rumaholat, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, yang berimbas pada penyerangan Negeri Masihulan oleh warga Masyarakat Negeri Sawai, dan membakar 61 rumah warga Masihulan, mendapat sorotan tajam dari Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM).
Ketua Majelis Pekerja Harian (MHP) Sinode GPM Maluku, pendeta Elifas Tomix Maspaitella, secara tegas meminta Polisi agar mengusut tuntas para pelaku penyerangan ke Negeri Masihulan, yang disebut Sinode GPM sebagai perusuh.
“Saya tidak tahu apa penyebab penyerangan kelompok perusuh atas masyarakat adat Masihulan. Jika itu buntut dari sengketa batas tanah Sawai dan Huaulu, maka jelas tidak ada korelasi apapun dengan penyerangan dan pembakaran rumah masyarakat adat Masihulan,” tandasnya.
Menurutnya penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga di Negeri Masihulan, adalah bentuk kekerasan yang tidak bisa ditolerir.
“Saya berharap Pemerintah Daerah (Pemda) dan aparat penegak hukum tidak mengarahkan pandangan dan keprihatinan hanya kepada korban, lalu menganggap tanggap darurat dan recovery fisik adalah jawaban atas kondisi ini,” ungkapnya dalam rilis yang dipublikasikan di media center GPM, Jumat (4/4/2025).
Menurut Pendeta Maspaitella, cara yang tepat adalah, Pemda dan aparat penegak hukum fokus pada kelompok penyerangan yang disebut perusuh ini.
“Mereka mengarahkan pandangan dan fokus perhatian kepada para perusuh. Sebab jika tidak mereka akan merasa memiliki power yang besar termasuk untuk mengusir suatu kelompok masyarakat adat dari negerinya,” tukasnya.
Kapolda Maluku, Irjen Pol Eddy Tambunan,kata Maspaitella, harus mengusut tuntas penyerangan Negeri Masihulan ini secara objektif, bukan hanya karena ada anggota Polisi yang meninggal dunia, tetapi karena para penyerang diduga menggunakan perlengkapan taktis perang.
“Bapak Kapolda harus dalami fakta penyerangan tersebut secara obyektif, bukan karena anggota Polisi menjadi korban, tetapi apa ada perlengkapan taktis perang yang membuat aparat TNI/Polri setempat sulit menghadang mereka.,” pinta Maspaitella.
Menurut Pendeta Maspaitella, pengusutan secara objektif fakta penyerangan Negeri Masihulan itu penting supaya jangan ada satu kelompok membuat masyarakat adat tidak tenang hidup di dalam satuan milik adatnya.
“Negara ini mesti menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat, sebab itu sengketa batas tanah juga harus didalami dan diselesaikan secara tepat. Kami merasa sedih dengan konflik ini, sebab kita sudah susah payah membangun perdamaian, tapi selalu saja ada pihak yang menodainya,” ujarnya sedih.
Dari catatan Sinode GPM, kata Maspaitella, ada 61 rumah warga adat Masihulan yang dibakar dan mereka kehilangan semua hartanya. Termasuk satu bangunan rumah pendeta atau pastori.
“Saya minta maaf jika harus menyebutkan ini kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh ditolerir dan jangan dilakukan kepada orang lain atas alasan apapun. Kalau ada persoalan hukum, biarlah diselesaikan secara hukum. Jika itu persoalan orang basudara, mari bakudapa dudu sama-sama lalu katong bicara. Seng boleh maeng cara-cara macam bagini. Akang seng bawa untung par Katong pung anana cucu,” pungkasnya. (redaksi)