AMBON,SPEKTRUM-Aksi penyerangan terhadap warga Negeri Masihulan dan Negeri Rumaholat oleh warga Negeri Sawai di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah. Mendapat Sorotan Tajam dari Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Geraja Protestan Maluku (GPM) Pendeta Elifas Tomix Maspaitella
Dalam siaran persnya Pendeta Elifas Tomix Maspaitella menyebutkan “Mari kita wujudkan perdamaian”. Yang menurutnya pesan ini bukan sekedar nasehat kosong. Tetapi adalah cita-cita tertinggi dari semua umat manusia di dunia, apalagi umat beragama.
“Dalam rangka itu, kita harus selalu menahan hati dari amarah dan dendam, maka tidak perlu main hakim sendiri apalagi memukul orang yang tidak bersalah. Jika sudah jatuh korban, lalu siapa yang berani tampil untuk dihakimi sebagai yang bersalah? Selama ini tidak ada kan? Makanya selalu saja pekerjaan rumah yang tidak bisa diselesaikan berabad-abad adalah mencari aktor intelektual dari semua peristiwa konflik. Walau sebenarnya aktornya ada dan diketahui,” tegasnya.
Maspaitella menyebutkan, baru beberapa hari ini lalu dikagetkan pada insiden Tulehu-Tial, dan hari ini Kamis (3/4) penyerangan terhadap warga Masihulan dan Rumaholat oleh warga Sawai di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah.
“Ini patut disesali, sebab kita sudah berusaha keras membangun perdamaian, dan kita sudah membuka diri untuk saling menerima satu sama lain. Harapannya, kalau ada masalah, mari dibicarakan sebagai orang basudara. Lalu kalau ada kasus tertentu, seperti sengketa batas tanah, dan apalagi jika sudah diproses sesuai hukum yang berlaku, biar mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” ungkapnya.
Jangan kemudian masyarakat diadu, katanya lagi, dan dijadikan sasaran dari aksi penolakan sebuah keputusan hukum yang masih dalam proses. Ini hal yang harus disadari dan diarifi supaya jangan kita saling melukai dan terus dijadikan objek aduan.
“Kami berharap, negara melindungi warganya, dan menengahi semua konflik yang terjadi. Sebenarnya titik api konflik antar-warga di Maluku Tengah sudah bisa diidentifikasi. Jadi perlu keputusan-keputusan bijaksana dari pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk membangun pos-pos pengamanan secara permanen di titik-titik api itu. Hal itu menjadi jalan masuk untuk proses edukasi perdamaian dengan melibatkan stakeholders lain termasuk lembaga keagamaan,” pintanya.
Dirinya memahami bahwa perdamaian itu baiklah terjadi dari level bawah, dan terjadi sebagai proses kesadaran warga. Tetapi masalahnya ialah ada penyebab-penyebab latent seperti batas tanah antar negeri yang harus juga diseriusi untuk penyelesaiannya oleh negara.
“Tidak elok jika karena masalah-masalah itu, masyarakat terus menjadi korban dan energi kita habis untuk merenovasi rumah yang terbakar, mengobati luka tembak, pemarangan, tanpa menyelesaikan penyebab-penyebab masalah itu,” tandasnya.
Dikatakannya selaku pemimpin GPM, pihaknya tetap harus menyampaikan nasehat dan anjuran kepada semua warga di Maluku Tengah, untuk mewujudkan damai. Dan menjadi masyarakat yang cerdas untuk belajar keluar dari masa kelam, dan sembuhkan luka pahit masa lalu.
Apalagi, GPM baru saja selesai melaksanakan Persidangan ke-45 MPL Sinode di Rumaholat pada bulan November 2024 yang lalu.
“Saat itu kami sudah memberi pesan damai ini, supaya negeri-negeri di pedalaman itu mendapat perhatian sungguh dari pemerintah, agar kita bisa bergerak maju. Tetapi kalau kita masih tinggal dengan panas hati dan berkonflik, sulit kita mengejar kemajuan negeri lainnya. Hentikan konflik sebab tidak ada gunanya bagi persaudaraan dan bagi generasi kita,” pungkasnya. (Redaksi)