AMBON, SPEKTRUM – Sidang tindak pidana makar dengan menghadirkan tiga petinggi FKM/RMS, Abner Litamahuputy, Yohanes Pattiasina dan Simon Taihuttu, yang membawa masuk bendera RMS di Mapolda Maluku, kembali digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Ambon, Rabu (2/9/2020).
Sidang berlangsung dari tiga tempat yaitu Pengadilan Negeri Ambon, Jl Sultan Chairun, Kecamatan Sirimau, Rutan Klas IIA Waiheru Jl Laksdya Leo Wattimena Kecamatan Baguala Kota Ambon, dan di kantor Bareskrim Polri Jakarta Pusat.
Sidang berlangsung menarik, karena Jaksa Penuntut Umum Kejati Maluku, Junet Pattiiasina dan Awaludin, menghadirkan saksi ahli dari Kantor Staf Presiden Jokowi, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej. Saksi ahli merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta.
Menjawab pertanyaan JPU, saksi ahli menyatakan kejahatan makar harus mendapat hukuman yang berat. Sedangkan objek makar adalah Presiden, Wakil Presiden dan Pemerintahan yang sah serta kedaulatan negara.
Makar, menurut Edy, adalah suatu tindakan penyerangan yang bisa dilakukan secara fisik maupun verbal. Apa yang dilakukan oleh para terdakwa, dengan menjalankan himbauan pimpinan tertinggi Eksekutif FKM/RMS, dr. Alexander Manuputty agar menaikkan bendera RMS pada HUT RMS 25 April 2020, sudah termasuk dalam upaya pemufakatan jahat.
Karena himbauan tersebut diteruskan melalui pidato yang disiarkan oleh media lokal di Maluku. Pemufakatan jahat ini lebih mengacu pada pasal 110 KUHP, namun kebijakan diserahkan kepada hakim.
Edy yang pernah menjadi saksi meringankan dalam pemeriksaan Denny Indrayana, mantan wakil Menteri Hukum dan HAM RI ini berpendapat, gerakan separitis yang ingin memisahkan diri dari NKRI, merupakan suatu kejahatan walaupun itu hanya niat, namun sudah termasuk dalam kejahatan pidana makar.
Faktanya kegiatan yang dilakukan oleh separitis RMS tidak melakukan tindakan pembunuhan atau pengrusakan, namun ingin merebut kekuasaan sebagian wilayah dari suatu negara yang berdaulat itulah yang di sebut sebagai kejahatan makar.
Demikian juga kejadian aksi demo yang pernah dilakukan oleh OPM di Jakarta sambil membawa bendera Bintang Kejora, ada beberapa dari mereka yang juga dijadikan sebagai terdakwa makar. Sehingga kualitas perbuatan itu yang menentukan berat ringannya penjatuhan hukum pidana oleh majelis hakim terhadap para terdakwa.
Sedangkan beberapa propinsi lain yang ikut melakukan kegiatan separitis atau makar, profesor termuda dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini menegaskan, tidak bisa disamakan dalam pengertian kualitas pengertian perbuatan itu yang menentukan berat ringannya hukaman tersebut.
Sementara itu, tim kuasa hukum terdakwa, Semuel Waileruny mencecar saksi ahli, seputar sejarah terbentuknya RIS dan proklamasi yang dilakukan oleh Dewan Adat Maluku Selatan di Desa Tulehu sebagai cikal bakal terbentuknya RMS, sebelum NKRI memproklamasikan kemerdekaannya.
Waileruny juga menanyakan tentang apakah Maluku masuk dalam wilayah NKRI saat proklamasi dengan wilayahnya keresidenan Jogjakarta.
Meskipun saksi ahli mengakui Indonesia merupakan bagian dari RIS, dan adanya kesepakatan antara NIT dan Indonesia lewat piagam yang sama-sama saling mengakui sebagai sebuah negara, namun saksi tetap menganggap, RMS adalah gerakan separatis. Saksi ahli bahkan menuding Waileruny telah keliru dalam pendapatnya.
“Saat pembentukan Indonesia, Maluku bukan bagian dari NIT, karena Maluku ikut bersama membentuk Indonesia lewat perwakilan Latuharihari,”tegasnya.
Perdebatan sengit ini akhirnya berakhir, saat saksi ahli menyatakan bahwa tidak punya banyak waktu karena harus menghadiri pertemuan, yang ditanggapi Waileruny sebagai upaya untuk menghindar.
Meskipun sempat menuding saksi ahli tidak subjektif dalam memberikan kesaksian, namun Waileruny menyatakan menghargai pendapat saksi ahli.
Sidang kemudian diakhiri dan dilanjutkan dengan sidang eksepsi terhadap dua terdakwa RMS yang mengibarkan bendera pada HUT RMS 25 April 2020, Dominggus Saiya dan Agus Matatula.
Sidang berlangsung dengan agenda pembacaan eksepsi oleh pensehat hukum, menanggapi dakwaan JPU. Dalam eksepsinya, Waileruny menilai, dakwaan JPU diuraikan tidak jelas dan cermat, serta tidak ada unsur penyerangan, sehingga harus dibebaskan.

Selain itu, Waileruny juga membeberkan tentang motivasi dari dua terdakwa mengibarkan bendera RMS adalah sebagai bentuk memperjuangkan sebuah kebenaran bahwa RMS adalah sebuah negara yang sah.
Dalam memperjuangkan sebuah kebenaran lanjut Waileruny, tidak sepantasnya para terdakwa diproses hukum, namun harus dilakukan dialog antara RMS dan pemerintah Indonesia, dengan melibatkan PBB. (S-07)