AMBON, SPEKTRUM – Status tersangka yang disematkan penyidik ​​Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, kepada Fery Tanaya, telah digugurkan dalam sidang praperadilan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Ambon, pekan kemarin.

Fery Tanaya dijadikan sebagai tersangka oleh penyidik, dalam kasus penjualan tanah negara untuk pembangunan PLTMG Namlea, Kabupaten Pulau Buru.

Menyikapi pengusutan yang akan kembali dilakukan oleh penyidik, Kuasa Hukum, Herman Koedoeboen mengingatkan, putusan praperadilan hakim bersifat declaratoir dan konstitutif.

“Declaratoir berarti hanya sebuah declaraoir titel atas sebuah status. Misalnya, penetapan tersangka atas fery Tanaya tidak sah. Tetapi jangan lupa, putusan itu juga mengandung sifat konstitutif, yang memastikan suatu keadaan hukum, ”ungkap Herman Koedoboen, didampingi Fery Tanaya dan Hendry Lusikooy kepada media, Sabtu, 26 September 2020.

Kalau ada tanggapan bahwa putusan ini bersifat administratif, karena didasarkan pada penetapan tersangka dan alat bukti yang tidak sah sehingga dapat ditetapkan kembali, mantan Wakajati Maluku ini meminta untuk berhati-hati.

Meskipun pengusutan perkara merupakan kewenangan dari jaksa, Koedoeboen mengingatkan untuk tidak melupakan sifat konstitutif dari putusan, yang memastikan suatu keadaan hukum, sehingga Clear atau stop.

Menurutnya, amar putusan hakim telah memastikan suatu keadaan hukum, tidak sahnya penetapan Fery Tanaya sebagai tersangka, sesuai pasal 2 dan pasal 3, UU Tipikor.

“Maknanya adalah, meniadakan suatu keadaan hukum, atau menimbulkan suatu keadaan hukum. Dalam putusan Ini adalah meniadakan, sehingga status sudah jelas,”ungkapnya.

Mantan Wakajati Halmahera ini juga menyebutkan, ini adalah sebuah edukasi kepada publik tentang hukum.

Dalam keterangan tersebut, saksi ahli menyatakan bahwa menentukan ganti bukan pada komponen-komponen standar, tetapi ganti rugi itu berdasarkan kepemilikan tanah dan tidak berdasarkan dokumen apapun. Anehnya, penetapan Fery Tanaya sebagai tersangka, didasarkan pada pendapat ahli, yang tidak berbicara tentang fakta, namun hanya pada keahlian.

“Lalu bagaimana bisa dijadikan dan disimpulkan bahwa tanah ini bukan milik Fery Tanaya, saya minta baca UU lagi, bagaimana anda katakan ini adalah milik negara. Menurut UU, bukti otentik hanya buku aset, tidak ada yang lain. Itu UU bukan pendapat saya. Jangan membawa hak menguasai negara, menjadi hak milik negara, itu keliru beda bagai bumi dan langit,”tegas Koedoeboen.

Koedoeboen juga mengatakan, momentum ini dipakainya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Maluku. Dia juga menilai inimerupakan suatu kewajaran, ketika hakim praperadilan dalam pertimbangan putusan menyatakan adanya pertentangan sikap, yang disebutnya sebagai konflik interest.

“Hakim katakan ada pertentangan sikap antara tugas preventif dan tugas represif. Bawa kemanapun, penilaian hukum ini akan tetap mengikuti. Jangan hanya mengatakan, ya kita bikin penyidikan ulang, ya jangan seperti itu, lihat dulu putusannya. Nah itulah inti daripada apa yang ingin kami katakan, kami tidak ingin mengemukakan jauh tentang pendapat ahli. Saya tidak bicara dengan emosi, namun norma dan konsep hukum yang kita bicara. Dalam amar putusan jelas, bahwa penetapan tersangka berdasarkan UU tidak sah. Saya akan tunggu saja,”tukasnya.

Koedoeboen juga menyebutkan, praperadilan adalah sebuah mekanisme hukum biasa. Tidak ada dalam paradigma, menang dan kalah. Penggunaan istilah itu, akan menimbulkan sebuah psikologi emosional. Jika emosi dalam tanggapi putusan, akan melahirkan subjektivitas.

“Apabila subjektivitas ini digunakan, akan melahirkan subjektivitas baru, jadi itu tidak memberikan sesuatu yang positif bagi penegakan hukum kita. Itu prinsip yang harus diletakan. Jadi kami hanya memohon, dan permohonan kami dikabulkan, tidak ada menang atau kalah. Isi putusan harus dicermati secara baik, jangan emosional. Prinsipnya, putusan mengandung tiga sifat, deklaratoir, konstitutif, kondenatoir. Sehingga memaknai sebuah putusan, harus cermat,”pungkasnya. (S-07)