Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarno Putri, tak mau ada bangunan politik dinasti di partai yang dipimpinnya tersebut.
AMBON, SPEKTRUM – Seluruh petugas partai kader dan pengurus pusat hingga daerah, dilarang menerapkan bangunan politik dinasti. Sebab politik dinasti cenderung memproduksi keluarga demi mempertahankan atau melanjutkan kekuasaan semata.
“Kalau anak tidak mampu jangan dipaksa-paksa. Jangan jadi kelompok-kelompok keluarga,” demikian kutipan singkat pidato Megawati, Rabu (19/02/2020), saat pengumuman pasangan calon kepala daerah untuk pilkada serentak tahun 2020 ini.
Mega pun menepis isu keterpilihan Puan Maharani notabene anak kandugnya menjadi Ketua DPR RI peruiode 2019-2024, karena ada intervensi dari dirinya. “Puan menjadi Ketua Umum DPR itu karena suaranya banyak, bukan karena saya intervensi, dan memaksakan pihak tertentu,” kata Mega.
Sentilan keras yang dilontarkan Mega tersebut, diapresiasi positif oleh publik di Maluku. Ada yang berpendapat pernyataan Ketum DPP PDIP Mega itu, cenderung mengkritik Joko Widodo secara langsung. Sebab momentum pilkada serentak tahun 2020 ini, ada anak kandung, menantu, ipar dari Presiden RI ke 8 dan 9 itu, ikut berproses dalam bursa pencalonan kepala daerah.
Sebagain pengamat berpendapat, pesan Mega tersebut adalah otokritik terhadap diri pribadi serta seluruh kader dan pengurus PDIP mulai pusat hingga daerah. Pesan Mega juga dinilai memiliki makna luas (umum). Bukan hanya mengkritik kader dan pengurus PDIP saja, tetapi selebihnya mengingatkan siapa pun warga negara di Indoesia utama elit politik pusat hingga daerah agar tidak boleh membangun politik dinasti.
Menanggapi pernyaan Mega tentang upaya penerapan politik dinasti itu, disambut positif pula oleh kader dan pengurus PDIP di Maluku. “Kita sangat apresiasi ketegasan Bu Mega. Artinya alam demokrasi kita secara etika tidak elok untuk membangun politik dinasti. Di beberapa daerah masih terlihat oknum tertentu berupaya membangun politik dinasti,” ucap beberapa kader PDIP Maluku kepada Spektrum di Ambon, Jumat (21/02/2020).
Misalnya, di Buru Selatan. Tagop Sudarsono Soulisa Bupati Bursel dua periode, notabenenya kader PDIP, dia mendorong isterinya yakni Safitri Malik Soulisa untuk masuk bursa pencalonan kepala daerah tahun 2020 di Bursel. Sementara di kabupaten Maluku Barat Daya ada Odie Orno, notabenenya adik kandung dari Barnabas orno, Wakil Gubernur Provinsi Maluku.
Menurutnya, nama Safitri tidak diumumkan DPP PDIP Rabu lalu, diperkirakan karena terhadang dengan keterangan Ketum DPP PDIP yang enggan mau ada penerapan bangunan politik dinasti.
“Pak Tagop itu kader PDIP Maluku, pak Baranabas orno juga kader PDIP Maluku. Nah, bisa jadi karena bu Mega tak mau ada kader utamanya pengurus partai membangun politik dinasti, selebihnya menjaga marwah partai, sehingga Safitri Malik dan Odie Orno, nama mereka tidak muncul saat pengumuman psangan calon kepala daerah Rabu 19 februari 2020, di Jakarta,” jelas sumber tersebut.
Ditambahkannya, DPP PDIP tidak mengumumkan nama Safitri Malik dan Odie Orno, karena mereka berdua hadir dengan latar belakang keluarga yang saat ini masih berkuasa di wilayah Mauku.
“Pak Tagop bupati dua periode di Bursel. Pak Barnabas Orno dari Bupati menjadi Wakil Gubernur Maluku, ini mungkin poin yang menjadi pertimbangan DPP PDIP sehingga tidak mengumumkan nama pak Odie Orno dan Ibu Safitri Malik,” pungkasnya.
Sementara itu, Akademisi IAIN Ambon Dr. Abubakar Kabakoran mengemukakan, secara yuridis memang tidak ada larangan atau aturan baku tentang boleh atau tidaknya menerapkan politik dinasti. Jika memang figur mendapat kepercayaan publik itu tidak masalah. Alibi lain, mungkin soal teka teki politik saja yang kurang elok, dan image masyarkat yang kurang bagus.
“Ini kan kembali lagi ke kapasitas, integritas dan kecakapan dalam memimpin. Intinya bisa mengambil simpati rakyat. Jadi bukan dinasti atau tidak. Ini soal kecakapan dalam memimpin,” jelas Abubakar Kabakoran, saat dimintai komentarnya oleh Spektrum Jumat (21/02), seputar wacana politik dinasti dalam era demokrasi yang dianut di Indonesia.
Ia menggaris bawahi, soal satatemen Megawati tersebu mengisyaratkan penerapan dinasti politik itu, tujuannya bukan hanya kepada PDIP saja, tetapi untuk siapapun. Meski demikian, dia juga tidak sepakat adanya upaya membangun politik dinasti.
“Dalam segi ini kita sepakat dengan apa yang disampaikan bu Mega. Untuk membangun politik dinasti atau dinasti politik, memang akan mengganggu roda pemerintahan. Semua ini dikembalikan ke persoalan etika,” tukasnya. (S-14)