AMBON, SPEKTRUM – Persoalan tanah masih saja terus terjadi di Maluku. Masyarakat menanggung beban kejahatan yang dilakukan oleh para pembuat sertifikat tanah itu, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Contoh ketidak adilan itu terjadi di atas lahan yang berdiri pasar Gemba, Desa Waimital, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Dilahan itu, terdapat 17 pedagang, diantaranya La Ara, Saryono Sawal dan Mustakim serta 14 rekan mereka yang lainnya.
Para pedagang ini, memperoleh sertifikat masing-masing dari BPN Maluku Tengah di tahun 2011, atas hasil jual beli antara mereka dengan istri almarhum Subeno, Siti Juan Ria di tahun 2010. Namun, saat penjualan, Kepala Desa Waimital saat itu, tidak menerbitkan surat jual beli namun surat keterangan hibah. Akibatnya, 17 pedagang ini menggugat ke Pengadilan.
Di tahun yang sama. 2011, Siti, istri Subeno itu sedang menggadaikan kembali sertifikat lahan tersebut ke salah satu Bank, yang sebelumnya juga belum lunas kreditnya di Bank sejak tahun 2007. Ia kemudian mendatangi Kantor BPN Malteng saat itu, untuk memohon melakukan pemisahan sertifikat terhadap 17 pedagang tersebut dan mereka (para pedagang) memperoleh sertifikat masing-masing di tahun 2010.
Seiring waktu berjalan di tahun 2020, Siti melaporkan 17 pedagang ini ke Polda Maluku dengan dugaan pidana, melakukan kejahatan penyerobotan lahan miliknya itu. Polisi kemudian melakukan pemeriksaan terhadap mereka, dan sedang dalam proses. 17 pedagang ini, tak mau ambil pusing. Mereka kemudian menyampaikan gugatan perdata mereka ke Pengadilan Dataran Hunipopu di Piru, Kabupaten SBB.
Melalui kuasa hukum mereka, Pileo Fistos Noija gugatan perdata mereka masuk ke Pengadilan sejak 23 Oktober 2020. Istri Subeno, Siti Juan Ria sebagai tergugat I, Tergugat II BPN SBB, dan Kades Waimital sebagai Tergugat III. Kades Waimital dijadikan turut tergugat diakibatkan peneribitan surat bukan surat jual beli akan tetapi hibah.
“Kami sudah menyurat ke BPN SBB untuk jangan membatalkan sertifikat dulu, karena kita sedang berperkara di Pengadilan. Sekarang, Jumat 6 November 2020 ini klien saya mendapat surat dari Keputusan BPN Provinsi Maluku Nomor 204/SK/81.MP.02.03/XI/2020 minta untuk para pedagang mengosongkan tempat dalam tenggang waktu satu bulan, dan menyurati instansi yang berhubungan untuk melakukan eksekusi pengosongan apabila lahan tersebut belum juga dikosongkan,” jelas Noija kepada media ini, via selulernya, Jumat 6 November 2020.
Noija menduga, surat dari Agraria ini diakibatkan dari Siti yang sedang menjaminkan sertifikat di Bank, dan belum lunas. Sehingga, dugaan dia, Siti bekerja sama dengan Agraria Malteng saat itu untuk melakukan pemisahan dan menerbitkan sertifikat.
“Jadi, seakan para pedagang ini yang salah. Padahal mereka sendiri yang memahami aturan adalah agraria. Kenapa demikian?, karena ketika Siti datang untuk memohon pemisahan sertifikat, Agraria wajib meminta sertifikat asli, akan tetapi dia tidak buat sertifikat asli tapi fotocopy. Dia turun ke lapangan buat pemisahan berdasarkan potocopy dan dia melahirkan sertifikat baru kepada 17 pedagang. Parah pedagang ni kan cuman tau beli harga 10 ribu dengan 20 ribu, kembalinya 10 ribu. mereka tidak tau buat sertifikat itu seperti apa. Sekarang agraria minta untuk mengosongkan lahan. Ini kan sesuatu kejahatan,” sebut Noija.
Akibat dari tindakan ini, pihaknya akan melaporkan pihak BPN ke aparat kepolisian serta Siti Juan Ria dengan dugaan kejahatan pidana. Dimana, surat untuk mengosongkan lahan oleh BPN sendiri adalah hal yang keliru. Karena, akibat dari kejahatan yang dilakukan Siti Juan Ria ini, proses perdata sedang berlangsung di pengadilan, sehingga proses eksekusi apapun belum boleh jalan karena gugatan tadi.
“Jadi ini, bentuk kekesalan yang disampaikan secara terbuka kepada Kanwil BPN Maluku untuk melihat persoalan yang terjadi di Pasar Gemba, khususnya mereka 17 pedagang yang menjadi korban ini. Saya akan melapor balik ke polisi dalam waktu dekat ini,” ancam Noija. (S-07)