AMBON, SPEKTRUM – Pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 10 MW di Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, sejak 2016 hingga kini mangkrak. Dugaan korupsi mencuat dalam proyek ini. Karena itu, penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, menangani kasusnya.
Penyidik tengah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Maluku, terkait audit perhitungan kerugian keuangan negara. Meski belum ada penetapan tersangka, tetapi penyidikan kasus ini masih terus bergulir di Kejati Maluku.
Dugaan korupsi merebak dalam pembelian lahan untuk pembangunan PLTMG 10 MW di Namlea tersebut. Sejumlah saksi sudah diperiksa. Dokumen terkait pun telah disita penyidik. Kasus ini menyeret pengusaha Fery Tanaya. Dia diduga punya andil serta peran dalam pembelian lahan milik warga ada Desa Liliali, Kabupaten Buru.
Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette mengaku, tahap penyidikan masih berporses. Penyidik sementara berkoordinasi dengan BPKP untuk mengaudit perhitungan kerugian keuangan negara.
“Proses penyidikan masih berlangsung. Koordinasi sedang dilakukan penyidik dengan BPKP, tentang audit perhitungan kerugian keuangan negara,” kata Samy Sapulette, kepada wartawan, Kamis, (31/10/2019), di kantor Kejati Maluku, Jalan Sultan Hairun, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku.
Kasus ini terbongkar, awalnya pembelian lahan untuk proyek PLTG 10 MW ini, peran Fery Tanaya ditengarai sekadar meraup keuntungan semata. Tanah yang dijual-belikan seluas 48,645,50 M2 senilai Rp.6.4 miliar lebih. Anggarannya bersumber dari APBN yang dialokasikan pemerintah pusat kepada PT.PLN Maluku-Maluku Utara.
Sejumlah pihak terkait (saksi) sudah dipanggil dan diperiksa oleh jaksa. Diantaranya pihak BPN Namlea, PT.PLN UIP Maluku di Namlea, pemilik lahan Moch Mukaddar, mantan Kepala Desa Namlea, Husen Wamnebo serta manatan Camat Namlea, Karim Wamnebo (sekarang Kepala Satpol PP), dan Pengusaha Fery Tanaya. Saksi ahli pun sudah diperiksa penyidik.
Sesuai Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) yang ditandatangani Fery Tanaya dengan status tanah seluas 48,645.50 meter persegi itu, tanpa sertifikat. Pihak PLN membayarnya seharga Rp.6.4 miliar lebih. Karena janggal, sehingga penyidik Kejati Maluku mengusut kasus ini. (S-05)