AMBON, SPEKTRUM – Penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gaspembangunan (PLTMG) Namlea, Kabupaten Buru, dianggap tidak sah.
Asumsi tersebut disampaikan Ahli Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar Said Karim Said Karim dalam sidang lanjutan Praperadilan, Senin (21/9/2020). Dalilnya, hal itu bertentangan dengan KUHAP, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan dua alat bukti.
“Tersangka adalah penetapan seseorang karena perbuatannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti yang cukup itu minimal dua alat bukti,” jelas Said Karim.
Namun menurutnya, alat bukti itu mesti ditemukan penyidik pada saat penyidikan dimulai atau saat proses penyidikan. Hal itulah yang menjadi dasar penetapan tersangka.
“Menetapkan seseorang menjadi tersangka sebelum penyidikan, makan penetapan tersangka tersebut tidak sah dan benar berdasarkan hukum,” katanya.
Ia mengatakan, alat bukti yang digunakan penyidik tidak sah. Pasalnya, hal itu dilakukan tanpa adanya surat perintah dimulainya penyelidikam.
“Penetapannya sah dengan adanya SPDP yang diterbitkan. Lalu ketika penyidikan dimulai, maka kewajiban penyidik adalah menyampaikan hal tersebut kepada terlapor dan pelapor,” ujarnya.
Baca Juga: https://spektrumonline.com/2020/09/18/giliran-jaksa-minta-hakim-tolak-gugatan-ferry-tanaya/
Said Karim mengaskan, harusnya penyidik menyerahkan SPDP seminggu setelah diterbitkan. “Iu adalah kewajiban hukum. Jadi kalau kewajiban itu tidak dilaksanakan tentu ada resiko hukumnya. Resiko hukumnya, prosesnya dilakukan bertentangan dengan hukum acara pidana,” tuturnya.
Ia menyimpulkan, rancangan proses penetapan tersangka dalam kasus ini tidak tertib dan melanggar perundang-undangan.
Sementara itu, Talim Wamnebo, salah satu tokoh masyarakat Buru yang dihadirkan dalam persidangan menyebut, jaksa ikut terlibat dalam pembelian lahan.
Alasannya, jaksa juga melakukan sosialisasi di Balai Desa Lala kepada pemilik lahan yang lain untuk keperluan pembangunan Gardu Induk seluas 19 . 770 m2 dengan harga Rp 125 ribu. Keterlibatan jaksa dalam sosialisasi karena masyarakat minta harga lebih tinggi.
“Ada jaksa yang hadir bernama Agus Sirait melakukan sosialisasi dengan Rp125 ribu itu harga pasar yang sudah ditetapkan PLN. Bahkan dalam proses ganti rugi lahan gardu induk, Jaksa melakukan sosialisasi sampai dua kali dan mengawal sampai selesai proses pembayaran,” kata Wamnebo.
Dari pemilik lahan-lahan itu, kata dia, Ferry Tanaya memiliki dokumen akte jual beli tahun 1985 (sudah 35 tahun menguasai kebun tersebut), dan ahli waris Said bin Thalib memiliki surat penjualan tahun 1928.
Sedangkan pemilik lahan lainnya yakni Sofyan Umagapi, Junaidi dan Salim Umagapi tidak memiliki surat kepemilikan, tapi sudah menguasai lahan itu sejak turun temurun.
Olehnya itu diarahkan Jaksa Sirait untuk meminta surat keterangan kepemilikan dari Raja sebagai alas hak untuk menerima pembayaran ganti rugi. “Pada saat pembayaran ganti rugi di Balai Desa juga disaksikan oleh pihak kejaksaan yakni Jaksa Berty Tanate dan semua Muspika saat itu,” ujar Wamnebo.
Hal itu dibenarkan Said bin Thalib. Dia menerangkan terkait tanahnya yang ikut dilepaskan ke pihak PLN, memverifikasi adalah orang dari pihak kejaksaan. “Pada saat itu yang memverifikasi adalah Agus Sirait dari kejaksaan Ambon, Ferdy Tanate dari Namlea,” katanya, lalu menyerahkan bukti foto kepada hakim.
Baca Juga: https://spektrumonline.com/2020/09/17/ferry-tanaya-minta-hakim-gugurkan-status-tersangkanya/
Dia mengetahui kedua orang itu dari pihak kejaksaan dari perkenalan yang dilakukan.
Menanggapi hal ini, pihak kejaksaan menyatakan penetapan Ferry Tanaya sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru, sudah sesuai aturan dan SOP penyidikan serta dibarengi dengan alat bukti sebagaimana pasal 184 KUHAP. (S-07)